Rabu 22 Apr 2015 22:31 WIB

Inilah Temuan Para Aktivis Lingkungan Pascamoratorium Hutan

Rep: Sonia Fitri/ Red: Maman Sudiaman
Hutan
Foto: rtr
Hutan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA —- Sejumlah gabungan aktivis sosial dan lingkungan melakukan kajian dan analisis soal kebijakan penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut oleh pemerintah. Pelaku kajian di antaranya dari kalangan akademisi diwakili Institut Pertanian Bogor, LSM Wahana Lingkungan Hidup serta Kemitraan.

Manager Economic and Environmental Governance Kemitraan Hasbi Berliani, Rabu (22/4) mengungkapkan, ditemukan sejumlah temuan di antaranya sejak keluarnya Inpres 10/2011 hingga Inpres 6/2013 tentang moratorium. Yakni terjadi penurunan areal yang dimoratorium dari waktu ke waktu dan cenderung berada pada wilayah yang tidak terancam penerbitan izin baru. Kondisi ini terjadi semisal pada kawasan konservasi dan suaka alam.

“Berdasarkan analisis terhadap Penetapan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPIB) revisi 1 hingga 7, hutan alam primer dan lahan gambut yang dimoratorium secara aktual sangat kecil,” katanya. sebab, sebagian besar areal yang dimoratorium justru berada pada kawasan yang sudah dilindungi berdasarkan Undang-Undang 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Berdasarkan analisis, ditemukan pula kenyataan bahwa masih ada perbedaan tafsir mengenai katagori lahan gambut antara pemerintah daerah dengan unit pelaksana teknis kementerian, sehingga areal yang semestinya dimoratorium justru dikeluarkan pada revisi PIPPIB berikutnya. Kasus seperti ini ditemukan di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau dan Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.

Selanjutnya, pengurusan izin untuk perhutanan sosial terhambat karena areal kerja yang diusulkan masuk dalam wilayah yang dimoratorium. Hal tersebut ditemukan di Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan Riau, dan di Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan. “Semestinya, izin untuk perhutanan sosial termasuk yang dikecualikan dalam kebijakan moratorium sebagaimana izin untuk restorasi ekosistem,” tuturnya.

Temuan lain yang mesti jadi bahan perbaikan ketika ingin memperpanjang moratorium. Yakni fakta bahwa kebijakan penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut tidak mengurangi jumlah izin baru yang keluar selama periode moratorium diberlakukan. Buktinya, izin hutan tanaman industri, izin pinjam pakai kawasan hutan untuk tambang dan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan bisa tetap keluar.

Program Officer Sustainable Environment Governance Kemitraan, Amalia Prameswari menambahkan, selama masa moratorium terjadi pelepasan kawasan hutan. Pelepasan tersebut bertujuan untuk memenuhi permintaan wilayah administrasi daerah dalam bentuk Area Peruntukan Lain (APL) mencapai 7,7 juta hektare di 20 provinsi.

“Selanjutnya, terjadi perluasan dan penerbitan izin HTI dengan luas mencapai 1.131.165 hektare dari tahun 2011 hingga 2013,” katanya. Ditemukan pula, lanjut dia, pelepasan kawasan hutan secara parsial untuk perkebunan seluas 1.136.956 hektare.

Pemberlakuan moratorium dengan tidak mengurangi jumlah izin baru juga terbukti dengan meningkatnya pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk pertambangan sampai dengan 2.253.882 hektare selama 2011-2013.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement