Rabu 15 Apr 2015 18:58 WIB

Keran Impor Gula Dibuka, Petani Tebu Sengsara

Petani tebu di Kandat, Kabupaten, Kediri mengaku merugi karena rendahnya harga tebu.
Foto: Antara
Petani tebu di Kandat, Kabupaten, Kediri mengaku merugi karena rendahnya harga tebu.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA --JAKARTA -- Peluncuran buku "Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan" (edisi revisi) karya Ahmad Syafii Maarif di Auditorium CSIS, Jakarta Pusat, kemarin malam berlangsung hangat namun tetap kritis. Tokoh-tokoh yang hadir dalam peluncuran buku tersebut juga membahas situasi pertanian di Indonesia yang dinilai masih tertinggal. Harapan untuk mengembalikan marwah Indonesia sebagai negara swasembada pangan, masih jauh dari kenyataan.

Hal ini yang dirasakan petani tebu lokal. Jelang masa panen yang akan jatuh pada bulan Mei 2015, Indonesia justru membuka keran impor gula mentah sebanyak 1.5 juta ton.  Gula mentah dipakai sebagai bahan baku gula industri yang diproduksi industri gula rafinasi untuk pabrik makanan dan minuman. Salah satu tokoh yang hadir, Lie Kamadjaya menyampaikan kritik keras atas kebijakan impor tersebut di hadapan Sofjan Wanandi selaku tim ahli ekonomi Wakil presiden Jusuf Kalla.

Baginya yang juga bergerak di usaha gula nasional, keran impor akan menyengsarakan petani tebu. "Membuka keran impor adalah bentuk pengingkaran pada perlindungan petani lokal. Dan membuktikan bahwa Jokowi tak serius perangi mafia gula di Indonesia,” kata Kamadjaya di sela-sela peluncuran buku "Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan" (edisi revisi) karya Ahmad Syafii Maarif di Auditorium CSIS, Jakarta Pusat.

Selain Lie Kamadjaya dan Sofjan Wanandi, hadir juga sejumlah tokoh dalam peluncuran buku tersebut. Lie Kamadjaya yang didaulat memberikan testimoni dalam acara tersebut menyampaikan bahwa negara perlu memihak kepada petani dan rakyat kecil untuk kesejahteraan orang banyak. "Sejalan dengan yang Buya sampaikan bahwa Alqurán pro-orang miskin dan antikemiskinan, harusnya negara memperhatikan nasib petani dengan tidak mengimpor gula, yang pada akhirnya menyengsarakan petani tebu", ujarnya.

Bagi Kamadjaja yang memiliki pabrik gula di Blora, situasi tak hanya berat untuk petani namun juga berat bagi industri gula nasional. Akan tetapi, sebagaimana sudah menjadi komitmennya, bahwa pabrik gula Blora yang menerapkan 100 persen tebu hasil dari petani plasma akan sekuat tenaga menggunakan tebu hasil panen petani. “Ini wujud nyata dari prinsip bahwa pabrik dan petani kudo mulyo berbarengan,” katanya.

Syafii Maarif yang hadir sebagai narasumber talkshow tentang buku terbarunya turut menyoroti situasi pelik ini dengan mendorong lahirnya pemimpin yang negarawan. Pemimpin negarawan adalah pemimpin yang mampu melampaui kepentingan kelompok, demi kepentingan bangsa yang lebih besar. “Bangsa ini harus lekas siuman, kita sedang paceklik negarawan saat ini” kata Buya Syafii. Dalam konteks ini, seorang negarawan sejati adalah mereka yang mau melindungi kelompok marjinal di negeri ini, termasuk di dalamnya para petani tebu di atas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement