REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Filsafat Universitas Indonesia (UI) Saraswati Dewi menilai pemahaman laut yang dilakukan pemerintah sangatlah mekanistis dan antroposentris dimana laut adalah sumber daya yang utamanya berguna bagi kehidupan manusia.
Namun, menurutnya diperlukan adanya penghayatan yang radikal tentang apa yang dimaksud kebudayaan maritim.
"Selama ini laut hanya menjadi objek untuk kepentingan manusia dimana laut dikeruk, dibangun, dan diberdayakan demi kepentingan manusia," ujarnya dalam diskusi tentang pembangunan maritim Indonesia di Hotel Pullman, Jakarta, Selasa (31/3).
Ia khawatir pemahaman seperti ini berujung pada pemindahan industri yang ada di darat ke laut. Menurutnya, kearifan lokal menjadi bagian penting tak terpisahkan dari masyarakat Indonesia terhadap laut dimana ia mengambil contoh dengan yang terjadi pada masyarakat Bali.
Ia menambahkan, bagi masyarakat Bali, laut dipandang sebagai dua sisi yaitu Sekala dan Niskala. Sekala ialah laut sebagai wujud yang nampak, yang dapat dikaji dan diukur secara empiris. Sedangkan sisi satunya lagi, Niskala adalah sisi yang tersembunyi dari perspektif objektif manusia.
"Bali memiliki dua aktivitas spiritual utama yang berhubungan dengan laut yaitu setelah upacara Ngaben dan sebelum Nyepi," sambungnya.
Ia menilai, hal-hal semacam ini akan memperkuat akar epistemologi dan menjadikan budaya sebagai strategi perlindungan terhadap kekayaan dan keindahan laut.
Saraswati berharap pengertian maritim tidak diartikan eksploitasi secara besar-besaran laut dan mengharapkan budaya maritim mampu mengukuhkan nilai-nilai budaya nusantara yang menghargai laut sehingga hal-hal yang berbau eksploitasi laut tidak akan terjadi.
Ia menambahkan, sudah sepatutnya pembangunan yang dilakukan terhadap sektor laut selalu memiliki perspektif kepada keseimbangan alam dan pelestarian laut dan manusia menjamin keselarasan itu dengan mampu menjaga makhluk hidup lainnya yang berada di laut.