Kamis 15 Jan 2015 15:12 WIB

Sektor Baja dan Petrokimia Jadi Prioritas Investasi, Ini Sebabnya...

Rep: C87/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Industri Baja (ilustrasi)
Foto: ANTARA
Industri Baja (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sektor baja dan petrokimia menjadi prioritas investasi industri substitusi impor tahun ini. Kedua sektor tersebut diprioritaskan untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor.

Proyek Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanam Modal Asing sektor baja yang telah memperoleh izin prinsip (pipeline project) periode 2010-2014 mencapai Rp 59,8 triliun untuk PMDN dan 15,2 miliar dolar AS untuk PMA. Sedangkan total realisasi investasi PMDN mencapai Rp 17,2 triliun dan PMA 4,8 miliar dolar AS periode 2010-2014 (Q3).

Sementara, proyek PMDN dan PMA sector petrokimia yang memperoleh izin prinsip periode yang sama mencapai Rp 119,7 triliun untuk PMDN dan 12,4 miliar dolar AS untuk PMA. Sedangkan total realisasi investasi PMDN mencapai Rp 83,7 triliun dan PMA sebesar 23,2 triliiun.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Franky Sibarani, mengatakan selama ini, ketergantungan bahan baku impor untuk produksi industri baja nasional masih sangat tinggi. Kebutuhan bahan baku pellet, sponge iron, pig iron hampir 100 persen diperoleh melalui impor, kecuali bahan baku scrap sekitar 70 persen impor.

Kondisi itu meneka angka defisit neraca perdagangan sekitar 8,9 miliar dolar AS (2003) sehingga sektor baja termasuk industri yang memberikan dampak negatif terhadap transaksi berjalan.  “Itu salah satunya (prioritas) petrokimia dan baja karena lebih siap, dan sudah banyak investor yang masuk. Sehingga kita ke depan harus fokus kita lihat dari yang ada, kalau itu terjadi pasti akan mengurangi impor,” jelas Franky kepada wartawan di kantor BKPM, Jakarta, Selasa (13/1).

Menurut Franky, dengan adanya perkembangan pembangunan beberapa proyek investasi yang memproduksi sponge iron kapasitas 0,805 juta ton dan pig iron 1,9 juta ton per tahun diharapkan dapat menekan impor bahan baku tersebut.

Menurut data Kemendag, sejumlah industri baja mengurangi kapasitas produksi slab baja dan lebih memilih impor slab dibandingkan memproduksi sendiri akibat melemahnya harga baja. Akibatnya, impor slab meningkat pada 2013 yang mencapai 1,34 miliar dolar AS dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 1,38 miliar dolar AS.

“Pemerintah perlu melindungi dan meningkatkan daya saing industri baja dalam negeri dengan memberi insentif regulasi dan insentif fiskal,” imbuhnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement