Senin 22 Dec 2014 06:03 WIB

Premium Sudah Digunakan Sejak 1998

Papan harga SPBU di Jakarta, Ahad (12/21).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Papan harga SPBU di Jakarta, Ahad (12/21).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik Sofyano Zakaria menyatakan pemerintah harus mengungkap pengadaan RON 88 (premium) saat ini, tidak merugikan negara.

"Penjelasan oleh pemerintah itu, terkait rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM) agar menggunakan premium RON 92 dari saat ini RON 88," kata Sofyano Zakaria saat dihubungi di Jakarta, Ahad malam WIB.

Sofyano menjelaskan BBM premium atau RON 88 sudah ada sejak tahun 98-an. Apakah selama ini, penurunan RON (Down grade dari RON 92 menjadi 88) tersebut tidak diketahui oleh pemerintah yang selama itu berkuasa dan apa juga tidak diketahui DPR

Jika sudah diketahui oleh pihak-pihak tersebut, pertanyaannya mengapa mereka tidak mempermasalahkan hal tersebut. Yang menjadi pertanyaan mendasar dan perlu dijelaskan oleh TRTKM, apakah penurunan RON dari RON 92 menjadi RON 88, tidak bertentangan dengan ketentuan Perundang-undangan dan apakah tidak ada muatan 'permainan' anggaran atas produksi RON 88 tersebut, katanya.

Menurut dia, apa yang menjadi dasar pertimbangan utama perlunya proses RON 88 ini diungkapkan atau dipermasalahkan setelah belasan tahun hal ini berlaku.

"Publik sudah mengetahui bahwa premium RON 88 sudah dipergunakan sejak tahun 98-an. Apakah sejak tahun 98-an tersebut proses produksi RON 88, juga merupakan down grade dari RON 92. Seharusnya itu juga dijelaskan oleh TRTKM," ujarnya.

Jika proses down grade saat ini dipermasalahkan oleh TRTKM atau oleh pemerintahan Jokowi, harusnya diselidiki dan dinyatakan ke publik apakah selama adanya RON 88 ada kerugian negara yang timbul akibat proses tersebut.

Jika tidak ada kerugian negara yang timbul atas hal tersebut, maka temuan tersebut, di mata publik tidak akan bermakna serius dan bisa dinilai sebagai temuan yang biasa-biasa saja.

"Kalau penurunan RON tersebut (dari 92 menjadi 88) bukan merupakan pelanggaran hukum atau bukan merupakan hal yang merugikan bagi negara, lalu apakah perlu pemerintah harus memperhatikan dan melaksanakan rekomendasi TRTKM itu," ungkap direktur Puskepi itu.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement