Sabtu 18 Apr 2015 11:11 WIB

Kehadiran Pertalite takkan Hilangkan Mafia Minyak

Seorang petugas melayani penjualan bahan bakan minyak (BBM) di salah satu SPBU Kawasan Tanah Abang, Jakarta, Rabu (18/3).  (Republika/Prayogi)
Foto: Republika/Prayogi
Seorang petugas melayani penjualan bahan bakan minyak (BBM) di salah satu SPBU Kawasan Tanah Abang, Jakarta, Rabu (18/3). (Republika/Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID, PONTIANAK -- Direktur Puskepi Sofyano Zakaria menyatakan mengganti BBM jenis premium dengan dengan diluncurkannya pertalite adalah kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat. Karena pada dasarnya rakyat sudah membeli premium yang sudah tidak disubsidi.

Sofyano menjelaskan pertalite adalah BBM dengan RON 90 yang harganya akan di atas premium RON 88 dan dibawah harga Pertamax RON 92. Artinya dari sisi harga maka pertalite akan lebih mahal dari premium.

Dalam kesempatan itu, Sofyano menambahkan sejak zaman Orde Baru, negeri ini juga sudah menggunakan premium, malah dibawah RON 88. Namun hingga saat ini belum terdengar adanya penelitian tentang dampak penggunaan premium itu.

Selain itu, pemerintah juga belum pernah menjelaskan dan tidak bisa membuktikan ke publik adanya masalah lingkungan karena digunakannya premium yang RON-nya 88 apalagi di bawah RON 88.

Dia menambahkan Jika alasan mengganti premium dengan pertalite karena alasan importasi dan mencurigai hanya pihak tertentu saja yang bisa memasok RON 88, maka hal itu seharusnya dikesampingkan. Karena pemerintah tidak lagi menanggung beban pembelian premium, karena sudah tidak disubsidi lagi.

"Tetapi kenyataannya baik premium pertalite, dan pertamax tetap saja masih mengandalkan impor sehingga tetap saja ada peluang bagi 'pengusaha hitam' untuk bermain dalam pasokan BBM tersebut, dan tetap bergantung kepada pemasok luar negeri," ujarnya.

Harusnya, menurut Sofyano pemerintah melakukan pengawasan yang ketat terhadap tender pembelian atau pengadaan premium RON 88 itu. Seperti dengan menangani secara langsung pembelian BBM tersebut.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement