REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengaku kesulitan mengendalikan defisit neraca berjalan tanpa ada kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Di sisi lainnya, peningkatan konsumsi BBM juga belum diimbangi dengan ketersediaan energi alternatif.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani, mengatakan dalam kondisi normal subsidi BBM akan menambah defisit fiskal.
Jika harga BBM naik, maka defisit dan utang menjadi berkurang. Manfaat lebih besar juga didapat apabila subsidi dialihkan ke belanja produktif, seperti infrastruktur, pendidikan dan kesehatan.
Dengan menaikkan harga BBM, masyarakat diharapkan mau berlaku hemat energi. Setiap tahun kenaikan konsumsi BBM sejalan dengan kenaikan impor.
"Kalau lebih sedikit impor lebih kecil, defisit berkurang, kalau surplus, cadev (cadangan devisa) bisa naik, cadev naik nilai tukar akan stabil dan menguat. Dampaknya kemana-mana, dalam jangka menengah-panjang akan bisa membuat efisiensi untuk ekonomi ke depan," kata Askolani akhir pekan ini.
Pada APBN 2015 angka defisit dipatok sebesar Rp 245,89 triliun. Lalu dalam program pengendalian subsidi sebesar Rp 414.680,6 miliar, subsidi energi ditetapkan sebesar Rp 344.702,8 miliar dan subsidi non energi sebesar Rp 69.977,7 miliar.
Alokasi anggaran untuk subsidi BBM, BBN dan LPG Tabung 3 Kg diturunkan menjadi sebesar Rp 276.013,2 miliar dari Rp 291.111,8 miliar. Penurunan subsidi BBM diseksekusi dengan menurunkan volume BBM bersubsidi dari 48 juta kilokiter menjadi 46 juta kiloliter.
Sedangkan subsidi listrik diturunkan menjadi Rp 68.689,7 miliar dari Rp 72.422,7 miliar. Penurunan ini dengan tidak mengalokasikan carry over tahun 2014 di tahun 2015 sebesar Rp 3.733,0 miliar.
Sedangkan berdasarkan pos belanja, sebesar Rp 1.392,4 triliun dialokasikan untuk belanja pemerintah pusat. Lalu Rp 647,04 triliubn dialokasikan untuk belanja pemerintah daerah.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara mengatakan bahwa pemerintah mendatang harus membuat kebijakan pro pada reformasi ekonomi. Caranya dengan cermat menyusun prioritas dalam anggaran belanja negara.
"Harus buat kebijakan yg meningkatkan ekspor di luar ekspor komoditas ya kemandirian pangan, energi, bank dijaga supaya tetap sehat. Jadi buatlah kebijakan-kebijakan yang bisa membuat capital inflow dan kebijakan-kebijakan yang bisa mengurangi kebutuhan terhadap dolar," kata Mirza.
Saat ini Bank Indonesia (BI) juga tengah menjaga agar kebutuhan dolar cukup di pasar. BI perlu melakukan intervensi karena pasar uang tanah air belum terlalu dalam, sementara kebutuhan dolar selalu ada.
Dolar selama ini digunakan untuk beragam keperluan, termasuk pembayaran Utang Luar Negeri dan kegiatan impor. Selama ini ekportir merupakan penyumbang ketersediaan dolar terbesar di Indonesia.