REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gula impor (rafinasi) membanjiri pasaran Indonesia. Kondisi ini, membuat petani tebu lokal mengalami kerugian yang sangat besar. Bahkan, para petani serta pabrik gula yang mayoritas tersebar di Pulau Jawa terancam kebangkrutan.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil, mengatakan, sejak dua tahun terakhir ini keran gula impor dibuka sangat besar. Gula mentah tersebut, masuk ke Indonesia melebihi kebutuhan. Berdasarkan catatan, gula impor yang masuk mencapai 3,5 juta ton.
"Gula impor ini, sudah sangat jor-joran," ujar Arum, kepada //Republika// melalui sambungan telepon, Ahad (7/9).
Arum menyebutkan, mengacu pada konsumsi gula di Indonesia, kebutuhan per kapita itu hanya 17 kilogram per tahun. Kebutuhan tersebut dikalikan dengan jumlah penduduk Indonesia. Maka, akan total kebutuhan akan gula bagi masyarakat Indonesia mencapai 4,1 juta ton per tahun.
Sedangkan, produksi gula nasional, hanya mampu menembus 2,5 juta ton per tahun. Produksi tersebut, hasil jerih payah 1,2 juta petani tebu yang tersebar di negara ini.
Produksi gula dalam negeri, lanjut Arum, memang masih kurang dari data kebutuhan. Kekurangannya, hanya 1,6 juta ton per tahun. Untuk menutupi kekurangan ini, pemerintah kemudian membuka keran impor untuk gula.
Akan tetapi, sudah dua tahun terakhir, keran impor tersebut dibuka sangat lebar. Sehingga, gula rafinasi yang masuk mencapai 3,5 juta ton. Kondisi itu, jelas sangat menganggu produksi gula nasional.
Bahkan, saat ini dampaknya sangat terasa. Harga gula lokal, lebih murah dibanding ketentuan HPP. Pemerintah, melalui Permendag 45/2014 telah menentukan HPP gula itu mencapai Rp 8.500 per kilogram.
Namun, pada kenyataannya harga gula lokal saat ini antara Rp 8.200-8.400 per kilogram. Situasi ini, jelas membuat petani merugi. Selain itu, 62 pabrik gula yang ada juga terancam bangkrut.
"Suplai-demand gula sangat kacau. Gara-gara banjirnya gula rafinasi," ujarnya.