REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perbankan syariah terus mendorong pertumbuhan industri substitusi impor. Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) Yuslam Fauzi mengatakan, sejalan dengan perkembangan perbankan syariah, industri substitusi impor akan selalu mendapat perhatian.
Namun, karena market share bank syariah baru sekitar 5-6 persen di perbankan nasional maka peran bank syariah dalam mendukung industri tersebut belum terlalu menonjol. "Peranan perbankan syariah untuk memdukung industri substitusi impor juga masih kecil sebagaimana bank syariah portfolionya masih kecil," terang Yuslam di Jakarta pada Kamis (2/8).
Secara keseluruhan tantangan bank syariah adalah kurangnya inovasi dalam produk perbankan. Di samping itu perbankan syariah perlu lebih banyak mendapat fleksibilitas dalam konteks regulasi.
Yuslam tak memungkiri bahwa marjin bagi hasil bank syariah terhadap UKM masih tergolong tinggi. Namun, kredit syariah ternyata banyak diminati oleh pengusaha mikro dan menengah. Hal itu dikarenakan turnover UKM yang tinggi. "Katakanlah bagi hasil 48 persen, tapi kalau pengusaha mikro untungnya seratus persen maka bagi hasil itu mereka anggap murah," kata Yuslam.
Ia menilai bagi hasil yang dikenakan oleh bank syariah terhadap sektor mikro jauh lebih rendah ketimbang yang dikenakan oleh rentenir. Dengan adanya sistem perbankan, pengusaha dididik untuk tertib administrasi.
Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam Agustinus Mingka mengatakan, salam rangka menjalankan visi syariah terdapat sejumlah prioritas jangka pendek yang akan dijalankan. Di antaranya adalah menyusun masterplan sektor jasa keuangan syariah Indonesia yang bekerja sama dengan Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) dan mengembangkan infrastruktur keuangan syariah.