REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perusahaan publik yang tidak menerapkan asas transparansi dan akuntablitas publik akan rentan terhadap konflik dan gugatan.
Gugatan dapat dilakukan oleh salah satu pemegang saham, termasuk pemegang saham publik yang tidak puas atas semua informasi dan kinerja perusahaan yang dianggap dapat merugikan saham milik masyarakat luas.
Pernyataan itu dilontarkan pengamat ekonomi Yanuar Rizki, dan Indra Abidin Nasri dari Lembaga untuk Transparansi dan Akuntabilitas Publik, di Jakarta, Kamis (31/10). Kasus Seperti diketahui, kasus sengketa antarpemegang saham terjadi di Bumi Plc dan PT Sumalindo Lestari Jaya (SULI).
Kasus sengketa antarpemegang saham itu bisa terjadi akibat masih lemahnya transparansi dan akuntabilitas pihak perusahaan publik di pasar modal Indonesia. Padahal, transparansi dan akuntabilitas perusahaan publik adalah persyaratan yang sangat penting untuk membangun good coorporate governance, sekaligus sebagai bentuk pertanggungjawaban publik atas dana publik yang diserap.
“Pasti akan rawan konflik dan bisa digugat oleh pemegang saham lainnya jika perusahaan publik tidak transparan dan akuntabel," ungkap Indra Abidin Nasri dari Lembaga untuk Transparansi dan Akuntabilitas Publik. “Sumalindo yang sekarang digugat perdata materiil dan immateriil sebesar Rp 18,7 Triliun di pengadilan Negeri Jakarta Selatan adalah contohnya."
Menurut dia, sengketa antarpemegang saham harusnya tidak boleh sampai terjadi jika perusahaan publik tersebut menerapkan transparansi dan asas akuntabilitas. Karena dianggap tidak transparan, PT SULI juga pernah digugat di pengadilan hingga ke tingkat Mahkamah Agung. "Jadi, hati-hati emiten jika tidak transparan, bisa digugat seperti itu," ujar Indra mengingatkan.
Hal senada juga dilontarkan pengamat ekonomi dan pasar modal, Yanuar Rizky. Menurut dia, perusahaan terbuka bisa digugat dan disengeketakan oleh pemegang saham lainnya jika ada ketidakpuasan atas manajemen dan kebijakan perusahaan.
“Boleh-boleh saja menggugat ke Pengadilan Niaga maupun Pengadilan Negeri, jika ke Pengadilan Negeri, disamping perdata juga ada unsur pidana,” jelas Yanuar Rizky. Ia menambahkan, putusan pengadilan yang akan disidangkan nanti akan dilihat masyarakat apakah adil atau tidak bagi kasus sengketa pemilik saham publik.
“Karena itu, persidangan sengketa di pengadilan ini penting juga untuk dicermati dan dipantau oleh publik, agar pelajaran dan manfaatnya juga dapat dirasakan oleh publik,” cetus Yanuar.
Yanuar menegaskan menuntut dan memperkarakan kinerja perusahaan publik oleh pemegang saham publik diperbolehkan, asalkan dengan bukti-bukti yang kuat. Kata dia, pengadilan merupakan mediator yang bisa menjadi penengah yang adil dalam memutus sengketa para pihak.
“Kalau nuntut, nuntut apa saja boleh, tinggal menunggu pengadilan nanti memutuskan hasilnya apa, kalau siapa yang dimenangkan dalam kasus ini, lihat saja di pengadilan,” tandasnya.
Sengketa antarpemegang saham sedang terjadi di PT SULI dan sedang bergulir di PN Jakarta Selatan. Deddy Hartawan Jamin selaku pemegang saham publik SULI melakukan gugatan kepada 11 tergugat yaitu PT Sumalindo Lestari Jaya, Tbk (SULI), Amir Sunarko, David, Lee Yuen Chak, Ambran Sunarko, Setiawan Herliantosaputro, Kadaryanto, Harbrinderjit Singh Dillon, Husni Heron, PT Sumber Graha Sejahtera, Kantor Jasa Penilai Publik Benny, Desmar dan Rekan.
Gugatan dilakukan karena pemilik saham minoritas merasa dirugikan dan dipermainkan oleh manajemen SULI yang dimiliki saham mayoritasnya. Manajemen PT SULI dianggap pemegang saham publik mengabaikan asas-asas good coorporate governance, selain juga dianggap banyak mengabaikan keputusan hukum yang sudah berlaku.
Sengketa antarpemegang saham juga terjadi akibat adanya dugaan konflik kepentingan yang terkait dengan para pemegang saham di PT Suli. Pihak penggugat menyebut jabatan direktur utama dan presiden komisaris SULI adalah direktur utama dan komisaris utama di PT Sumber Graha Sejahtera (SGS), perusahaan pemegang kendali saham mayoritas SULI.
Pihak penggugat juga menyebut mereka juga merangkap posisi direktur dan komisaris di Samko Timber Limited di Singapura yang dimiliki oleh keluarga Sampoerna dan keluarga Hasan Sunarko