REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG – Sejumlah perajin tahu tempa di Kota Bandung dan Cimahi terpaksa memberhentikan sejumlah pegawainya lantaran tak mampu membeli kedelai sebagai bahan baku. Melejitnya harga kedelai hingga mencapai Rp 9.500 per kilogram (kg) dinilai oleh perajin sebagai bentuk pembunuhan terhadap usaha mereka.
‘’Kalau harganya mencapai Rp 9.500 per kilogram keuntungannya dari mana? Kami tak akan mendapatkan keuntungan dengan harga bahan baku seperti itu,’’kata H Endang Sutisna (56 tahun), pengrajin tahu Cibuntu, kepada ROL, Selasa (10/9).
Menurut Endang, sudah seminggu ini karyawannya yang berjumlah lima orang diberhentikan karena tak mampu membeli bahan baku. Pekerja yang bertahan, kata dia, hanya dua orang dengan kapasitas produksi yang menurun hingga 50 persen. Biasanya, kata dia, ia mampu memproduksi ribuah thu dalam satu hari dengan jumlah karyawan tujuh orang. ‘’Namun sejak seminggu ini produksi saya turun hingga 50 persen. Karyawan dikurangi karena harga bahan kau yang terus naik,’’ ujar Endang.
Endang mendesak pemerintah segera mencari soluasi ata persoalan ini. Masalah harga kedelai, kata dia, tiap tahu selalu memicu kemarahan para pengrajin tahu tempe. Harga kedelai impor yang tak bisa dikendalikan, kata dia, menjadi salah satu sebabnya.
Ia juga meminta pemerintah mengambil alih pengadaan kedelai impor tersebut dengan tujuan harga bisa dikendalikan. ‘’Kalau masih ditangani oleh importir swasta murni, ya begini jadinya,’’ ungkapnya.
Ketua Kopti Jabar, H Asep Nurdin, mengatakan, para perajin yang merumahkan karyawannya terus bertambah dari hari ke hari seiring kenaikan harga kedelai. Jika persoalan harga kedelai ini tak segera diatasi, imbuh dia, bukan tidak mungkin perajin tahu tempe ini akan berhenti berproduski lantaran sudah tak mampu membeli bahan baku. ‘’Akan ada puluhan ribu pekerja di sektor ini yang kehilangan mata pencahariannya,’’ ujar Asep.