REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonomi syariah di Indonesia memiliki fatwa berbeda dengan di negara lain. Pendekatan fatwa eknonomi syariah Indonesia cukup moderat namun tidak terlalu longgar seperti di Malaysia ataupun terlalu ketat seperti di Timur Tengah.
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) sebagai penentu fatwa ekonomi syariah nasional tetap membuka komunikasi dengan ulama negara lain. Hal ini dilakukan agar ulama Indonesia mengetahui perkembangan fatwa ekonomi syariah global
Di Malaysia, mendapatkan fatwa halal dalam kegiatan ekonomi syariah cukup mudah. Sebaliknya di Timur Tengah upaya mendapatkan fatwa halal untuk produk syariah sangatlah sulit. Sementara Indonesia sendiri lebih memilih mengambil jalan tengah.
Ketua DSN-MUI, Ma’ruf Amin mengatakan ada beberapa produk syariah dari negara lain yang tidak diperbolehkan di Indonesia. “Seperti praktik Bai al Inah diperbolehkan di Malaysia dan Tawarruq diperbolahkan di Timur Tengah, tapi di Indonesia tidak boleh,” ujarnya, Selasa (23/7).
DSN MUI bertugas melakukan kaidah ulang terhadap kaidah lama. Ekonomi syariah merupakan ekonomi yang memadukan Prinsip Ketuhanan dan rekayasa manusia. “Sebenarnya kita bukan membuat prinsip baru. Prinsip ini sudah ditanamkan sejak zaman Nabi Muhammad SAW, kita hanya mengembangkannya lewat ekonomi syariah,” kata dia.
Adanya pembaharuan ini harus berdasarkan suatu alasan, contohnya dalam praktik Mudharabah. Dulu, Mudharabah hanya dilakukan antara dua hingga tiga orang, namun sekarang bisa hingga puluhan ribu orang sehingga DSN-MUI melakukan penyegaran. “Dulu dalam bagi hasil harus dihadiri Mudharib, tapi sekarang sulit karena terlalu banyak sehingga cukup dengan lembaga perwakilan saja,” ucap Ma’ruf.