Senin 08 Jul 2013 15:04 WIB

Cadangan Devisa Menipis, DPR Minta Perketat Koordinasi Pemerintah dan BI

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Nidia Zuraya
cadangan devisa, ilustrasi
cadangan devisa, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cadangan devisa Indonesia pada akhir Juni 2013 tergerus menjadi 98,1 miliar dolar dari posisi akhir Mei yang mencapai 105,1 miliar dolar AS. Cadangan itu cukup untuk memenuhi kebutuhan impor selama 5,4 bulan dan pembayaran utang luar negeri. Tanpa pembayaran utang luar negeri, cadangan devisa dapat memenuhi kebutuhan 5,5 bulan impor. 

Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis menilai perlu langkah regulatif dari pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk mengantisipasi berlanjutnya penurunan cadangan devisa. Khusus untuk pemerintah, Harry menilai perlu pengetatan regulasi terkait beberapa hal yang berefek pada membesarnya impor. "Itu harus diklasifikasikan oleh pemerintah sebab bukan wewenang BI," ujar Harry saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Senin (8/7). 

Harry mengatakan perlu ada koordinasi yang ketat antara moneter dan fiskal. "Sekarang menurut saya masih sendiri-sendiri. Itu yang memperburuk situasi kita sekarang," ucapnya.

Terkait pengaruh penurunan cadangan devisa terhadap pembayaran utang luar negeri, Harry mengatakan semakin terdepresiasinya nilai tukar tentu membuat utang yang dibayarkan meningkat.  "Itu akan memperburuk juga tentang belanja utang luar negeri karena diukur dalam rupiah dan itu akan kecenderungannya defisit akan bertambah juga," ujar Harry.

Tergerusnya cadangan devisa tak lepas dari intervensi yang dilakukan oleh BI untuk mencegah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Berdasarkan data kurs tengah BI per Senin (8/7), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di posisi Rp 10.010 (kurs jual) dan Rp 9.910 (kurs beli).

Selain cadangan devisa, Harry menyebut seluruh pengampu kebijakan perlu mengantisipasi harga minyak internasional yang telah menyentuh melebihi 100 dolar AS. Harga minyak mentah light sweet untuk pengiriman Agustus naik 28 sen menjadi 103,50 dolar AS per barel dan minyak mentah Brent North Sea untuk penyerahan Agustus naik 25 sen ke posisi 107,97 dolar AS.

Meskipun besarannya masih berada di bawah asumsi APBNP 108 dolar AS per barel, Harry mengatakan, "Artinya karena di bawah itu, insentif untuk impor tetap besar menurut saya. Itu akan memperburuk dan memperkeruh neraca pembayaran. Jadi, nilai tukar akan tetap sensitif," kata Harry.

Penurunan nilai tukar rupiah, lanjut Harry, akan berimbas pada naiknya suku bunga acuan (BI rate). Ia memperkirakan BI akan menaikkan BI rate. Sebagai gambaran, BI rate saat ini berada di posisi 6,00 persen. "Saya pribadi belum tentu setuju kecenderungan itu," ujar Harry.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement