REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi Yanuar Rizki menilai, intervensi Bank Indonesia (BI) dalam menjaga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak akan efektif. Menurutnya, saat ini yang dibutuhkan adalah pendisiplinan pasar atau deregulasi.
Yanuar mengatakan, pelaku pasar modal sudah terlanjur memegang underlying. "Tapi mereka main-main. Indeks dari 500 jadi 4700. Kita periksa dong. Harga ini turun drastis yang beli-jual ini temenan gak nih?," ujar Yanuar di Jakarta, Selasa (11/6).
Melemahnya rupiah seiring dengan melemahnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Pada sesi pertama perdagangan kemarin, IHSG di angka 4.654,74, turun 122,617 poin atau 2,57 persen.
BI juga disarankan untuk melakukan deregulasi dan disinsentif. "Kalau kebijakan kayak gini duitnya sedikit, cabut. Cabut cari untung. Mindahin status disana biar ikutan main," ujar dia.
Yanuar mengusulkan untuk mengenakan pajak berganda pada transaksi portofio sehingga investor tidak tertarik melakukan aksi ambil untung. Ia menyimpulkan, setiap tahun terdapat siklus dimana investor melakukan aksi ambil untuk sehingga rupiah melemah.
Dia memperkirakan akhir Juni rupiah akan hampir menyentuh level Rp 10 ribu. "Kalau saya yakin sampai Juni rupiahnya akan ditahan diatas. Nanti dekat September akan kejadian lagi kayak kita bicara hari ini," ujar dia.
Yanuar menyarankan, BI fokus menyebar valas ke sektor-sektor yang vital seperti energi dan pangan, contohnya Pertamina. "Mungkin BI pernah beli valas yang Rp 8.700-Rp 8.800. Asumsi APBN kan Rp 9.600. Dijual ke Pertamina Rp 9.600 juga masih untung," jelas dia.
Menurutnya, hal tersebut sangat menolong asalkan didukung penuh oleh kabinet. Selain itu, Pertamina juga jangan menjadi alat rente atau bunga uang.
Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual, mengatakan dalam pengendalian nilai tukar BI hanya sebatas intervensi. "Kebijakan BI rate masih menunggu kepastian keputusan BBM. Kalau BI rate naik lebih dulu tapi BBM tidak jadi naik kan jadi masalah," ujar David.