Selasa 11 Jun 2013 20:05 WIB

Rupiah Melemah, Ekportir dan Importir Sama-Sama Rugi

Rep: Muhammad Iqbal / Red: A.Syalaby Ichsan
Kapal Kargo pengangkut kontainer komiditi ekspor (ilustrasi)
Foto: sustainabilityninja.com
Kapal Kargo pengangkut kontainer komiditi ekspor (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gabungan Importir Nasional Indonesia (GINSI) Achmad Ridwan Tento mengatakan, kalangan importir jelas terpengaruh dengan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.  

Menurutnya, saat membeli bahan maupun barang dari luar negeri, importir menggunakan mata uang dolar AS. Ridwan menjelaskan, besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh importir, akan membuat harga bahan maupun barang yang dijual kepada masyarakat menjadi lebih mahal.  

"Tentu ini akan mengurangi daya saing kita," ujar Ridwan melalui sambungan telepon kepada Republika, Selasa (11/6).  Menurut Ridwan, selama ini importasi yang dilakukan oleh importir dalam negeri adalah importasi tepat guna.  Dalam artian, impor dilakukan terhadap bahan maupun barang yang tidak diproduksi di dalam negeri.

Dengan adanya pelemahan ini, kata Ridwan, keseimbangan usaha para importir menjadi terganggu."Kita ingin nilai tukar stabil.  Kalaupun terjadi fluktuasi, tidak terlalu besar sehingga tidak memberatkan importir," ujar Ridwan.  

Keberhasilan pemerintah dan Bank Indonesia menahan nilai tukar rupiah di kisaran Rp 9.600 sampai Rp 9.700 per dolar AS beberapa waktu lalu adalah besaran yang ideal.  

Pelemahan nilai tukar rupiah bukan berarti menguntungkan para eksportir.  Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI) Toto Dirgantoro mengatakan, pelemahan rupiah tidak selamanya menguntungkan karena sebagian eksportir jug melakukan mengimpor bahan baku.  

"Yang kita harapkan stabilitas," ujar Toto.  Terlebih di tengah kondisi perekonomian global yang belum menentu telah membuat permintaan impor dari negara-negara langganan merosot.  Di sisi lain, Toto juga menyinggung kompetisi antar eksportir negara-negara yang semakin ketat.  

Kondisi ini jelas menuntut eksportir melirik pasar dalam negeri yang masih luas.  Terkait langkah yang harus dilakukan pemerintah, Toto menilai intervensi oleh BI tidak sepenuhnya dapat diandalkan.  Sebab, hal itu dapat menggerus cadangan devisa yang ada.

 Perbaikan, kata Totot, juga perlu dilakukan dari sisi neraca perdagangan, khususnya impor minyak yang selama ini menekan.  Selain itu, Toto menyarankan agar Pertamina dalam mengimpor minyak menggunakan dolar AS yang berasal dari Bank BUMN dan BI.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement