REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sepakat dengan rencana pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Meskipun demikian, kompensasi yang diberikan kepada masyarakat tidak dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT).
"Saya kira itu memang harus dinaikkan. Tapi kompensasinya jangan BLT karena sangat rawan disalahgunakan," tutur Wakil Ketua DPD Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas kepada wartawan saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (30/4).
Menurut Hemas, seharusnya kenaikan harga BBM bersubsidi telah dilakukan dari tahun-tahun sebelumnya. Walaupun pada akhirnya kenaikan harga BBM bersubsidi menjadi beban masyarakat, khususnya dari sisi harga bahan pangan yang pasti akan naik."Tapi, kejelasan dan kepastian terkait kenaikan itu yang kita butuhkan," ujarnya.
Hemas menjelaskan, kepastian dibutuhkan agar masyarakat memiliki persiapan sebelum harga BBM bersubsidi dinaikkan. Di sisi lain, pemerintah seharusnya telah mengambil langkah-langkah yang signifikan untuk mengantisipasi dampak dari kenaikan tersebut.
Wakil Ketua DPD La Ode Ida menambahkan maju mundurnya rencana kenaikan harga BBM bersubsidi telah mengakibatkan kelangkaan di sejumlah daerah. Khususnya solar yang dibutuhkan oleh industri dalam menggerakkan sektor riil.
Agar karut-marut terkait BBM bersubsidi tidak berulang, La Ode menyarankan kepada pemerintah untuk mengambil kebijakan yang bersifat jangka panjang terkait pengelolaan energi. Salah satunya adalah koversi BBM ke bahan bakar gas yang telah disampaikan oleh DPD sejak Maret 2012."Sebab ketidakpastian soal BBM kerap menimbulkan masalah," ujarnya.