Senin 29 Apr 2013 09:45 WIB

Dua Harga BBM Akan Sulitkan Pengawasan

BBM Bersubsidi (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan
BBM Bersubsidi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANJARMASIN -- Pengamat sosial kemasyarakatan dari Universitas Palangka Raya (Unpar), Prof Dr HM Norsanie Darlan MS PH berpendapat, bila pemerintah memberlakukan dua harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang berbeda, maka akan menyulitkan dalam pengawasan. Ia mencontohkan pengangkutan BBM untuk daerah pedalaman, seperti di Kalimantan masih banyak menggunakan angkutan sungai, sehingga sulit melakukan pengawasan.

"Karena masyarakat pada umumnya tak mengetahui mana BBM bersubsidi dan non subsidi, sehingga berpotensi pula penyimpangan peruntukan. Penyimpangan peruntukan itu bisa terjadi di perkotaan, terlebih di daerah pedalaman," paparnya di Banjarmasin, Senin (29/4).

Sedangkan aparat keamanan, sambungnya, tak mungkin melakukan pengawasan terus menerus atau dalam jangka panjang, karena banyak pula tugas lain yang menjadi tanggung jawab mereka. Lebih lanjut ia mencontohkan bentuk penyimpangan peruntukan, yaitu sebuah angkutan umum yang tidak beraktivitas/tak mengangkut penumpang, mengatre di Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU) untuk mendapatkan BBM bersubsidi. Namun BBM itu dia jual dengan harga non subsidi.

"Nah, mungkinkah aparat kepolisian bisa mengawasi praktek seperti itu. Sementara personel kepolisian terbatas dan mereka yang berbuat penyimpangan itu biasanya sembunyi-sembunyi," ujarnya. Selain itu, ungkapnya, dengan dua harga BBM yang berbeda, bisa menimbulkan kecemburuan sosial, baik di perkotaan maupun daerah pedalaman.

Oleh karenanya, ia sependapat atau setuju kalau pemerintah menaikan harga BBM dengan batas-batas kewajaran, sehingga cuma ada satu jenis harga. "Penetapan satu harga BBM tersebut, guna memudahkan pengawasan serta menghindari kecemburua sosial yang bisa berunjung pada hal-hal yang tak kita inginkan bersama," kata Norsanie.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement