REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perusahaan mineral global Freeport McMoRan Copper and Gold (Freeport) menolak membangun pabrik smelter. Perusahaan pertambangan AS itu mengatakan lebih memilih menjadi penyuplai bahan tambang untuk pabrik penyulingan dan pemurnian dibanding membangun pabrik smelter baru.
Sebagaimana dilansir Reutters, petinggi Freeport McMoran menilai smelter merupakan bisnis yang sulit. "Kita sudah memiliki kontrak kerja dan kita komitmen dengan itu. Jika terdapat kapasitas smelter baru yang dibuat di Indonesia, kita akan berkomitmen untuk menyuplai konsentratnya," jelas Wakil Presiden Marketing dan Penjualan Senior Freeport Javier Targhetta.
Lagipula, pembangunan pabrik smelter membutuhkan biaya modal yang besar. Padahal untung yang didapat minim. "Dari sisi current treatment and refining charges (TC/RCs), saya bahkan tak melihat ada peningkatan," katanya.
Saat dihubungi ROL, Presiden Direktur Freeport Indonesia Rozik B Soetjipto mengatakan pihaknya masih mengkaji sejumlah opsi terkait kegiatan pemurnian bahan mineral ini. "Kami masih membahas secara intern," katanya, Jumat (8/3).
Ia menuturkan Freeport Indonesia siap berpartisipasi dan mendukung feasibility study (FS) apakah benar smelter dibutuhkan, bersama pemerintah, BUMN, dan perguruan negeri. "Alternatif lainnya, kita siap bekerjasama dengan pihak ketiga yang akan membangun smelter untuk menjamin pasokan konsentrat," tegasnya.
Di 2013, perusahaan AS yang beroperasi di Tambang Greasberg Papua itu bakal meningkatkan produksi emasya hingga 1,3 juta ounce atau setara dengan 42,9 ton. Target ini lebih tinggi dibanding realisasi 2012 lalu sebesar 900 ribu ounce.
Hingga saat ini cadangan terbukti Freeport sebesar 828 juta ton bijih. Terdiri dari 1,1 persen tembaga, 1,01 part-per million (ppm) emas, serta 4,22 ppm perak.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik menyatakan Indonesia membutuhkan 20 pabrik smelter. "Dari 145 perusahaan tambang yang mengajukan pembuatan smelter, kami hanya butuh sekira pembangunan 20 smelter dulu," ujarnya.
Jero menambahkan perusahaan tambang yang lain bisa bergabung dengan perusahaan tambang lainnya yang sudah membangun smelter. Satu smelter, bisa digunakan untuk dua sampai tiga perusahaan tambang.
Pembangunan smelter diatur dalam UU nomor 4 tahun 2009. Lalu ditunjang dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 tahun 2012 yang kemudian direvisi dengan Permen Nomor 11 tahun 2012.
Pembangunan smelter juga masuk dalam poin renegosiasi kontrak karya pertambangan yang tengah dilakukan pemerintah. Selain smelter, perusahaan tambang asing wajib melakukan divestasi saham hingga 51 persen, membatasi wilayah kerja hingga 25 ribu hektar, meningkatkan penerimaan negara seperti royalti dan pajak.
Selain itu perusahaan tambang juga harus memenuhi syarat tingkat kandungan dalam negeri. Perusahaan tambang juga wajib memperpanjang kontrak dari KK menjadi pemegang izin usaha pertambangan (IUP).