REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi politik negara sangat berpengaruh terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Pemerintah mengakui menaikkan harga BBM di era demokrasi jauh lebih sulit daripada sebelum era reformasi pada 1998.
Pemerintah harus mendengarkan rakyat dan mengakomodasi berbagai kepentingan sebelum memutuskan untuk mengambil kebijakan. "Ini merupakan salah satu konsekuensi demokrasi," ujar Wakil Presiden Boediono saat menjadi pembicara dalam The Economist Indonesia Summit di Jakarta, Kamis (28/2).
Pemerintah mempertahankan harga BBM bersubsidi untuk mempertahankan stabilitas ekonomi jelang pemilihan umum presiden pada 2014 mendatang. Hal yang dapat dilakukan pemerintah saat ini adalah kebijakan yang sifatnya sistematik seperti melakukan konversi dari BBM ke gas.
Namun Boediono menegaskan ini hanyalah salah satu opsi untuk mengurangi beban subsidi. Pemerintah tidak membuang pilihan menaikkan harga BBM untuk menjaga stabilitas ekonomi. Pemerintah akan mengambil langkah tersebut apabila pilihan tersebut merupakan yang paling tepat untuk menjaga stabilitas ekonomi. "Segala jenis pilihan masih terbuka," ujarnya.
Situasi politik merupakan salah satu pilar stabilitas ekonomi Indonesia. Politik Indonesia saat ini sangat stabil dan reformasi telah menampakkan hasil suksesnya sejak diraih pada 1998. Demokrasi telah membawa kedamaian dalam pemilihan umum dan perubahan pemerintah. Namun tentu saja hal ini masih harus terus dijaga.
Tantangan yang saat ini harus dihadapi Indonesia adalah ekonomi makro dan ketidakstabilak politik jelang pemilu. Demokrasi membuat membuat kebijakan semakin kompleks dan menantang. "Pemerintah harus mengakomodasi tujuan sosial politik," kata Boediono dalam pidatonya.
Terkait ekonomi makro, pajak Indonesia masih menduduki level terendah di Asia. Saat ini rasio pajak terhadap GDP baru 12 persen. Dari 117 juta angkatan kerja, hanya seperlima yang memiliki identitas pajak atau Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Dan hanya sebagian kecil dari pemegang NPWP yang membayar pajak.
Masalah lain adalah defisit anggaran yang tahun lalu sebesar 1,2 persen dari GDP. Tahun ini rasio ini diperkirakan meningkat 1,36 persen. Begitu pula dengan desifit neraca transaksi berjalan Indonesia. Tahun lalu rasionya mencapai 2,4 persen terhadap GDP. Hal ini disebabkan oleh tertekannya ekspor Indonesia akibat krisis ekonomi global sepanjang 2012.
Meskipun menghadapi banyak tantangan, pemerintah percaya ekonomi Indonesia masih akan tumbuh di atas 6 persen. Pemerintah tidak akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bersifat drastis dan mengejutkan. "Hanya kebijakan yang gradual dan sistemik yang akan dikeluarkan pemerintah dalam 10 bulan jelang pemilu," tegas Boediono.