REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pemerintah menerapkan cukai sebesar Rp 3.000 pada minuman berkarbonasi atau minuman bersoda akan berdampak pada kenaikan harga sekitar 3,78 persen. Akibatnya permintaan terhadap minuman tersebut akan menurun hingga 64,9 persen.
Salah satu peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Eugenia Mardanugraha mengatakan penurunan konsumsi terhadap minuman bersoda akan terjadi karena produk tersebut merupakan barang yang elastis. Artinya apabila terjadi kenaikan harga, maka penurunan permintaannya akan menjadi lebih tinggi daripada kenaikan harganya sendiri.
"Berbeda dengan rokok yang inelastis, berapa pun kenaikan harganya orang akan tetap membeli karena sudah candu," ujar Eugenia saat menyampaikan hasil penelitian tentang 'Dampak Cukai pada Minuman Ringan terhadap Fiskal dan Perekonomian Indonesia' di Jakarta, Senin (4/1).
Lebih lanjut ia mengatakan, bila wacana itu benar-benar diterapkan, maka dalam waktu satu tahun pemerintah memang akan mendapatkan penerimaan tambahan sebesar Rp 590 miliar. Namun di sisi lain, penerimaan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan berkurang hingga Rp 562,7 miliar. Penerimaan dari pajak perusahaan, lanjut dia, juga akan menurun hingga Rp 736,1 miliar.
Selain itu, pemerintah juga harus menanggung beban biaya pemungutan pajak sebesar Rp 74,7 miliar. Sebagai akibatnya, pemerintah harus menanggung total kerugian sebesar Rp 783,4 miliar.
Bila tujuan pemerintah menerapkan cukai pada minuman bersoda untuk meningkatkan pendapatan negara, menurut Eugenia, hal itu jelas tidak akan tercapai. "Tapi kalau tujuan pemerintah untuk mengurangi konsumsi zat berbahaya itu bisa tercapai," ujar dia.
Penelitian yang telah dilakukan selama dua bulan ini juga mengungkapkan bahwa konsumsi minuman soda di Indonesia paling rendah dibandingkan minuman lainnya, yaitu hanya sebesar 3 persen saja. Sementara konsumsi minuman tertinggi terjadi pada minuman non kemasan seperti es teh manis dan es jeruk yang banyak dijual di warung makan, yaitu sebesar 32 persen.
Karena itu, menurut Eugenia, rencana pemerintah mengenakan cukai pada minuman bersoda tidak tepat. "Pemerintah harusnya fokus terhadap pengenaan cukai pada barang-barang mewah saja," ujar dia.
Lebih lanjut ia mengatakan, bila harga minuman bersoda naik sebesar 37,8 persen akibat penarapan cukai tersebut, maka konsumen akan beralih pada minuman non kemasan yang harganya jauh lebih murah. Kebijakan tersebut, tambah dia, hanya akan memindahkan pembelian dari satu barang ke barang lain saja.
Selain itu, dosen ilmu ekonomi di Universitas Indonesia ini juga mengatakan, rencana pengenaan cukai akan berimbas luas, salah satunya pada migrasi investor asing di bidang minuman bersoda. Hal itu dikarenakan kebijakan tersebut akan berimbas pada kerugian di sektor industri yang diprediksi mencapai Rp 5,6 triliun per tahun.
"Kebijakan untuk mengenakan cukai pada minuman ringan bersoda dan berpemanis hanya akan membebani baik pemerintah maupun konsumen," tandasnya.