Senin 14 Jan 2013 16:54 WIB

Review BK CPO Hanya Untungkan Malaysia

Rep: Muhammad Iqbal/ Red: Dewi Mardiani
Minyak Sawit Mentah
Minyak Sawit Mentah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengaku belum menerima permintaan penurunan bea keluar minyak sawit mentah (crude palm oil-CPO) dari kementerian sektor yang terkait, antara lain Kementerian Perdagangan (Kemendag) maupun Kementerian Pertanian (Kementan). 

Demikian diungkapkan oleh Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, usai menghadiri rapat kerja Komisi XI DPR dengan Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, dan Gubernur Bank Indonesia di ruang rapat Komisi XI DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Senin (14/1).

Meski demikian, Bambang mengaku khawatir apabila bea keluar CPO harus kembali direvisi dari besaran pada Januari 2013 yakni sebesar 7,5 persen. Sebab, review ini hanya akan menguntungkan negeri jiran Malaysia. 

Menurut Bambang, Malaysia saat ini tengah khawatir posisinya sebagai negara terbesar untuk pengolahan CPO terancam. Oleh karena itu, Malaysia memainkan taktik dengan mempermainkan bea keluar CPO. Penerapan bea keluar, lanjut Bambang, merupakan upaya agar bisnis pengolahan (hilirisasi) CPO berpindah ke Tanah Air. 

"Kalau kita ikuti irama Malaysia, artinya kita menyerah kepada Malaysia," tutur Bambang. Indonesia hanya akan menjadi penghasil CPO tanpa upaya untuk mengolahnya.

Bagaimana jika nantinya bea keluar CPO diturunkan hingga nol persen? Jika ini terjadi, Bambang menyebut seluruh produsen CPO akan mengekspor CPO secara besar-besaran. Pada akhirnya tidak ada yang memikirkan hilirisasi. "Yang untung siapa? Malaysia," tegas Bambang.

Pada faktanya, hilirisasi CPO di Tanah Air memang tidak berjalan lancar. Menanggapi hal ini, Bambang meminta kepada instansi terkait untuk mulai menjalankannya. Seharusnya, negeri ini mengeluarkan sesuatu yang dihasilkan dari CPO. Terkait penurunan bea keluar CPO dari 9 persen pada November dan Desember 2012 menjadi 7,5 persen pada Januari 2013, pihaknya hanya menyesuaikan dengan kondisi global. "Ini kan progresif. Kalau harga makin turun kan nol persen juga akhirnya," ujar Bambang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement