REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengapresiasi tercapainya kesepakatan sementara terkait 'fiscal cliff' (jurang fiskal) antara Pemerintah Amerika Serikat (AS) dengan Kongres. Meski demikian, Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo mengaku mewaspadai penundaan pengeluaran 'fiscal cliff' selama dua bulan hingga tercapainya kesepakatan baru.
"Itu juga harus diperhatikan," tutur Agus kepada wartawan di kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kamis (3/1).
Agus menjelaskan, selama ini pemerintah khawatir jika kesepakatan terkait 'fiscal cliff' tidak tercapai. Jika itu terjadi, maka pertumbuhan ekonomi AS akan mengalami penurunan dan ini akan berujung pada terjadinya resesi. Saat ini, dengan kondisi ekonomi Eropa maupun AS yang belum pulih sepenuhnya, dampaknya telah terasa.
Sepanjang 2012, kondisi tersebut berdampak pada penurunan harga komiditas-komoditas andalan ekspor Indonesia. "Jadi, secara langsung ini memengaruhi ekonomi Indonesia," kata Agus.
Apakah kesepakatan terkait 'fiscal cliff' berdampak kepada neraca perdagangan Indonesia? Agus mengaku tidak menemukan keterkaitannya.
Akan tetapi, 'fiscal cliff' berdampak kepada perekonomian AS yang membuat pola ekspor dan impor terpengaruhi. "'Fiscal cliff' yang dihindari lebih baik daripada terjadi 'fiscal cliff'," tuturnya.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Bambang PS Brodjonegoro mengakui Pemerintah AS dan Kongres masih mencari waktu untuk tiba pada kesepakatan yang ingin dicapai kedua belah pihak. Akan tetapi, Bambang melihat kedua pihak sama-sama berkeinginan agar AS terhindar dari resesi. "AS tidak ingin (resesi) itu terjadi," ujar Bambang.