REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemerintah Indonesia telah mengirimkan surat keberatan terhadap RUU Food Standards Amendment di Australia yang dinilai memberi kesan buruk terhadap minyak sawit sehingga dikhawatirkan dapat mempengaruhi ekspor Indonesia.
"Kita telah menyampaikan bukti secara ilmiah bahwa kelapa sawit tidak lebih jelek dibanding minyak lainnya," kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Deddy Saleh, di Jakarta, Jumat.
Menurut Deddy, minyak sawit adalah jenis minyak yang jauh lebih ramah lingkungan dan lebih berkelanjutan jika dibandingkan dengan minyak lainnya seperti minyak dari rapeseed. Ia mengemukakan, satu hektare dapat digunakan untuk menghasilkan 6.000 liter minyak sawit, sedangkan rapeseed hanya menghasilkan 1.190 liter per hektare.
Sementara minyak dari biji bunga matahari adalah sebanyak 952 liter per hektare dan minyak dari biji kedelai hanya 446 liter per hektare.
Karenanya, menurut dia, minyak sawit dinilai merupakan salah satu solusi bagi isu ketahanan pangan (food security) dan volatilitas harga pada bahan pangan yang sedang dihadapi dunia global pada saat ini.
RUU Food Standards Amendment yang saat ini tengah dibahas secara intensif di parlemen Australia disebut bersifat diskriminatif karena menuding dampak kandungan minyak sawit terhadap kesehatan manusia.
RUU tersebut mengatakan, lemak yang terkandung dalam minyak sawit lebih besar daripada minyak yang berasal dari tumbuhan/sayuran lainnya.
Deddy menegaskan, pemerintah Indonesia senantiasa memperjuangkan kepentingan Indonesia di pasar internasional, termasuk ketika terdapat aturan suatu negara yang diskriminatif terhadap produk Indonesia.
Saat ini, pemerintah Indonesia terus berusaha melakukan dialog dengan pemerintah Australia agar ketentuan tersebut tidak diterapkan karena akan menghambat ekspor minyak sawit Indonesia ke Australia.