Rabu 11 Jun 2025 19:25 WIB

Usulan Pajak Rumah Tapak Dinilai Timbulkan Ketimpangan dan Perparah Backlog

Kebijakan Wamen PKP dikritik karena dianggap menyudutkan masyarakat kelas menengah.

Rep: Eva Rianti/ Red: Friska Yolandha
Anak-anak bermain saat mengunjungi fasilitas taman bermain di Rumah Susun Jagakarsa, Jakarta, Kamis (8/5/2025). Pemprov DKI Jakarta meresmikan rusun baru Jagakarsa yang terdiri dari tiga tower, 16 lantai berisi 723 unit hunian sebagai tempat tinggal bagi masyarakat berpenghasilan rendah serta relokasi warga yang terdampak pembebasan lahan normalisasi sungai Ciliwung.
Foto: Republika/Prayogi
Anak-anak bermain saat mengunjungi fasilitas taman bermain di Rumah Susun Jagakarsa, Jakarta, Kamis (8/5/2025). Pemprov DKI Jakarta meresmikan rusun baru Jagakarsa yang terdiri dari tiga tower, 16 lantai berisi 723 unit hunian sebagai tempat tinggal bagi masyarakat berpenghasilan rendah serta relokasi warga yang terdampak pembebasan lahan normalisasi sungai Ciliwung.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Usulan Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Fahri Hamzah, mengenai pengenaan pajak tinggi pada pembangunan rumah tapak menuai kritik. Ekonom sekaligus pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai ide tersebut berpotensi memperparah backlog perumahan di Indonesia dan memukul mimpi masyarakat kelas menengah untuk memiliki rumah.

Backlog perumahan di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 15 juta unit pada tahun ini. Sebagai informasi, backlog perumahan adalah kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dan jumlah rumah yang dibutuhkan masyarakat—atau secara sederhana dapat dimaknai sebagai krisis kepemilikan rumah.

Baca Juga

Achmad mengkritik usulan kenaikan pajak terhadap rumah tapak yang ditujukan untuk mendorong masyarakat tinggal di rumah susun (rusun) atau apartemen. Menurutnya, kebijakan tersebut terkesan menyudutkan masyarakat kecil dalam memperoleh ruang hidup yang layak. Meskipun dinarasikan sebagai solusi efisiensi ruang kota dan urbanisasi berkelanjutan, kebijakan tersebut seolah memosisikan rumah tapak sebagai hak eksklusif kelompok berpenghasilan tinggi.

“Apakah efisiensi ruang boleh menyingkirkan mereka yang selama ini tinggal di pinggiran kota, menabung dengan susah payah untuk membeli rumah tapak sederhana, dan menjadikannya satu-satunya harta yang diwariskan bagi anak-anak mereka? Dalam debat soal ruang kota, infrastruktur, dan tata guna lahan, suara kelas bawah kerap terpinggirkan,” ujar Achmad dalam keterangannya, Rabu (11/6/2025).

Ia menegaskan bahwa rumah tapak bukan sekadar bangunan fisik, tetapi merupakan ruang hidup yang menyatu dengan praktik ekonomi dan budaya masyarakat. Di rumah tapak, masyarakat dapat membuka warung kecil, membangun bengkel di garasi, atau memberi ruang bermain bagi anak-anak—sesuatu yang sulit didapatkan di rusun.

“Kita sering membayangkan rusun sebagai solusi urban modern: bersih, aman, efisien. Tapi bagi kebanyakan masyarakat menengah ke bawah, tinggal di rusun yang sempit, jauh dari tempat kerja, dan minim ruang sosial, bukanlah impian melainkan keterpaksaan,” tuturnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement