REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para pelaku usaha industri hilir sawit mendukung pemerintah untuk mewujudkan target pertumbuhan ekonomi 8 persen dan percepatan swasembada pangan serta energi. Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia Rapolo Hutabarat menegaskan hal ini di sela-sela acara buka puasa bersama awak media di Jakarta, Rabu (12/3/2025).
Menurutnya dari sisi industri sawit ada dua faktor kunci dalam mendukung target pemerintahan Prabowo tersebut. Pertama mengoptimalkan kerja sama internasional seperti BRICS dan mendorong investasi di sektor hilirisasi sawit.
"Pertama, kerja sama ekonomi bilateral Indonesia yang saat ini dengan 9-10 negara, tetapi produk sawit secara keseluruhan belum banyak dimanfaatkan dalam kerja sama bilateral ini. Karena ada beberapa insentif yang barangkali belum diketahui oleh dunia usaha di Indonesia,” kata Rapolo, dikutip Kamis (13/3/2025).
Ia menambahkan, resminya Indonesia menjadi anggota ke-10 BRICS pada 6 januari tahun ini merupakan peluang besar untuk sektor sawit. Apalagi, kata dia, negara-negara BRICS tidak ada satupun yang menerapkan hambatan dagang.
“Kalau dibandingkan penduduk dunia totalnya mencapai 8,1 miliar porsi 10 negara BRICS mencapai 3,9 miliar itu porsinya sekitar 48 persen terhadap populasi dunia. Ke-10 negara itu tidak ada yang menerapkan hambatan dagang terhadap produk sawit,” jelas Rapolo.
Ia berharap kerja sama pemerintah dengan BRICS ini menjadi kunci menarik investasi untuk sektor sawit dari 10 negara itu. Kemudian menjadi pasar utama dari produk sawit Indonesia.
“Dari sisi pendapatan per kapita rata-rata dunia itu 14.400 dolar AS, dan rata-rata negara BRICS itu 11.200-an dolar AS. Jadi dari sisi ekonomi mendekati pendapatan dunia. Dari 10 itu ada dua yang melewati pendapatan per kapita rata-rata dunia yaitu UEA dan Rusia. Tiongkok itu masih 13.000 dolar AS,” ujar Rapolo.
Selanjutnya yang menjadi kunci untuk mencapai target swasembada dan ekonomi 8 persen yaitu dalam perluasan hilirisasi. Menurut Rapolo, Indonesia masih mengabaikan sawit untuk bernilai tambah tinggi seperti produk fitonutrien terutama betakaroten, tokoferol dan tokotrienol dan lain-lain. Padahal, lanjut dia, pangsa pasar dari tiga jenis produk tadi dalam 3 tahun terakhir, menembus 10 miliar dolar AS.
Dia menyebut potensi produk fitonutrien itu bisa mencapai 15 miliar dolar AS per tahun. Artinya 50 persen dari total ekspor sawit yang mencapai 30 miliar dolar AS. “Maka perlu barangkali alih teknologi, insentif dari pemerintah supaya ada investasi. Mungkin ini menjadi salah satu pokok dalam kita bernegosiasi dengan BRICS supaya investasi bisa masuk,” ujar Rapolo.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan pihaknya mendukung Pemerintahan Prabowo yang sudah menetapkan sawit sebagai aset nasional. Hanya saja, pekerjaan rumah ke depan adalah ketidakpastian regulasi.
Misalnya, Sahat menyoroti Perpres 5/2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan yang dikhawatirkan berdampak buruk terhadap industri sawit nasional dan usaha-usaha yang terkait dengan penggunaan lahan.
“Kalau ada perusahaan yang di luar HGU-nya diperoleh ya saudah diselesaikan saja bagaimana regulasi dan administrasi. Tapi tidak perlu diramaikan yang membuat cemas pengusaha,” ucapnya.
Lebih lanjut, dia menyoroti MINYAKITA yang saat ini sudah mendominasi pasar. Belakangan kerap menjadi polemik. Program minyak goreng MINYAKITA, jelas Sahat membuat adanya dua harga dalam satu produk yang sama.
“Makanya disamakan saja harganya dan kepada mereka tidak mampu membeli itu special case, itu diserahkan lewat Kemensos. Dananya dari mana? Bisa diambil dari levy, tidak perlu APBN,” ujarnya.
Sekjen Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) Ernest Gunawan mengatakan pihaknya telah mendukung pemerintah dalam program biodiesel. Dia mengatakan, untuk program B35 pada 2024 penyaluran biodiesel sangat baik dengan realisasi mencapai 13,1 juta KL atau hampir 98 persen.
Untuk mendukung B50, Ernest mengatakan dibutuhkan total kapasitas 24 juta – 25 juta KL. Namun saat ini kapasitas terpasang hanya 19,6 juta KL atau dibutuhkan 4 juta – 5 juta KL kapasitas terpasang lagi. “Mungkin tahun ini akan ada tambahan sekitar 1 juta KL. Diharapkan ke depan akan ada investasi di sektor ini atau existing players untuk ekspansi,” ujarnya.
Namun, menurut Ernest, ekspansi tersebut akan berjalan apabila ada hal-hal vital yang mendukung. Itu di antaranya, kenyamanan berusaha dan kepastian hukum.