REPUBLIKA.CO.ID, SAMARINDA - Harga bensin di wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia, yakni di Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur (Kaltim), mencengangkan, jauh dari hari umum yakni Rp25 ribu per liter.
"Warga Apau Kayan, yang ada diempat kecamatan di Kabupaten Malinau harus membeli bensin seharga Rp25 ribu per liter," kata seorang tokoh masyarakat Apau Kayan, Baya Apoy di Samarinda, Rabu (16/2)).
Pernyataan itu disampaikan saat melakukan unjuk rasa bersama puluhan pelajar dan mahasiswa serta tokoh masyarakat dari empat kecamatan yang berbatasan langsung dengan Malaysia di depan Kantor Gubernur Kaltim.
Kondisi tersebut sudah lama berlangsung. Hingga kini masyarakat masih sangat kesulitan mendapat bensin. Harga bensin demikian tinggi karena akses menuju ke perbatasan terbatas dan hanya bisa ditempuh dengan pesawat dari Samarinda ke bandara Long Ampung Malinau.
"Warga Apau Kayan diempat kecamatan di Kabupaten Malinau lebih banyak membeli berbagai kebutuhan pokok di wilayah Serawak, Malaysia karena aksesnya bisa ditempuh lewat jalur darat," katanya.
Jika menggunakan kendaraan (motor) perjalanan bisa ditempuh selama satu hari dan biaya yang dibutuhkan hanya Rp50 ribu.
"Tetapi, jika akan membeli kebutuhan pokok di Samarinda, warga harus menggunakan pesawat itupun hanya tiga kali seminggu dengan biaya Rp250 ribu. Jadi, sejak puluhan tahun kami (warga Apau Kayan) memilih berbelanja di Malaysia," kata Baya Apoy.
Baya Apoy yang merupakan mantan kepala desa di salah satu wilayah di perbataan Indonesia-Malaysia tersebut mengatakan, selain bensin berbagai kebutuhan pokok lainnya dibeli warga di Malaysia dengan harga mahal.
"Harga garam saja mencapai Rp20 ribu per bungkus yang beratnya hanya sekitar delapan ons dan harga gula pasir mencapai Rp25 ribu/Kg. Bahkan, minyak goreng harganya mencapai Rp90 ribu/Kg. Begitu juga dengan harga beras mencapai Rp150 ribu per 17 kilogram," katanya.
Namun, masyarakat tidak bisa berbuat banyak sebab akses ke Malaysia lebih mudah dan murah dibanding ke Samarinda, tambah tokoh masyarakat Apau Kayan itu.
Warga Apau Kayan yang umumnya bekerja sebagai petani lanjut dia juga sangat kesulitan berkomunikasi sebab belum ada jaringan telepon selular.
Untuk berkomunikasi, warga hanya menggunakan wartel (warung telekomunikasi) yang per menitnya Rp8.000. "Jadi, kami meminta perhatian pemerintah agar segera membuka akses jalan dan menambah frekuensi penerbangan di wilayah perbatasan tersebut agar masyarakat disana juga bisa menikmati hidup layak seperti masyarakat di perkotaan," ujar Baya Apoy.
Tiap Pekan Belanja ke Serawak
Dalam memenuhi kebutuhan sehari-sehari warga perbatasan di empat kecamatan--Kecamatan Sungai Boh, Kecamatan Kayan Selatan, Kayan Hulu dan Kayan Hilir--kata Baya Apoy berbondong-bondong ke Serawak Malaysia setiap sepekan untuk membeli berbagai kebutuhan pokok.
Warga pergi ke Serawak hanya untuk membeli berbagai kebutuhan pokok dan tidak menjual berbagai hasil pertanian. Mereka berangkat dengan membawa mata uang Rupiah kemudian ditukarkan dalam mata uang Ringgit, Malaysia.
"Jadi, kami berharap pemerintah segera merealisasikan wacana tentang pembentukan Beranda Indonesia di wilayah perbatasan agar warga di sana juga bisa menikmati pembangunan dan tidak lagi harus ke Malaysia untuk membeli kebutuhan pokok," kata Baya Apoy.