Rabu 30 Apr 2025 21:06 WIB

Dirjen Minerba ESDM: Hilirisasi Bauksit Masuk Fase Kritis

7 proyek smelter bauksit mangkrak karena tak dapat investor

kapal pengangkut bauksit
Foto: antara
kapal pengangkut bauksit

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menilai proses hilirisasi komoditas bauksit telah memasuki fase kritis. Meski kebijakan larangan ekspor bijih bauksit resmi diberlakukan pada Juni 2023, realisasi pembangunan fasilitas pengolahan di dalam negeri belum sejalan sepenuhnya dengan target nasional.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Tri Winarno, menjelaskan bahwa dari sembilan proyek smelter bauksit yang tercatat dalam rencana nasional, baru lima yang berhasil beroperasi. Empat lainnya masih tertahan pada fase konstruksi atau studi kelayakan, bahkan beberapa di antaranya mengalami stagnasi akibat kendala pendanaan dan pencarian investor.

Menurut Tri, kondisi ini menunjukkan bahwa upaya hilirisasi belum sepenuhnya bertransformasi dari sekadar kebijakan menjadi eksekusi nyata. Karena itu, pemerintah mendorong agar seluruh pemangku kepentingan, baik swasta maupun BUMN, menjaga konsistensi dan komitmen jangka panjang dalam membangun industri berbasis sumber daya mineral domestik.

"Hilirisasi bauksit saat ini sedang berada di fase kritis. Kita tidak bisa hanya membangun pabrik-pabrik di atas kertas. Yang kita butuhkan adalah eksekusi yang berjalan dan konsistensi kebijakan. Pemerintah tidak ingin sekadar menambah izin, tapi memastikan semuanya benar-benar jalan di lapangan," ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XII DPR RI, Rabu (30/4/2025).

Lebih lanjut, Tri memaparkan bahwa produksi bijih bauksit nasional mengalami penurunan signifikan dalam dua tahun terakhir, seiring dengan diterapkannya larangan ekspor. Pada 2022, produksi nasional masih berada di kisaran 31,8 juta ton. Namun sejak larangan ekspor berlaku pertengahan 2023, angka tersebut turun menjadi 19,8 juta ton di tahun itu, dan kembali turun menjadi 16,8 juta ton pada 2024.

Penurunan ini disebut sebagai dampak wajar dari masa transisi kebijakan. Pasalnya, belum semua fasilitas smelter siap menyerap bijih dari dalam negeri secara optimal. Pemerintah berharap tren ini akan segera berbalik arah dengan mulai beroperasinya sejumlah proyek strategis seperti PT Borneo Alumina Indonesia (BAI) dan ekspansi Well Harvest Winning (WHW) di Kalimantan Barat.

Tri menekankan, keberadaan smelter bukan hanya soal pembangunan fisik, tetapi menyangkut penciptaan rantai nilai domestik yang utuh. Ia menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan antara suplai bahan baku dan kapasitas hilir.

"Kami tidak hanya ingin membangun pabrik, tapi membangun kemandirian industri. Bauksit adalah salah satu kunci menuju ekosistem energi masa depan dan ketahanan industri nasional," ujarnya.

Dengan menciptakan industri alumina yang kuat di dalam negeri, pemerintah berharap bauksit Indonesia tidak lagi bergantung pada ekspor bahan mentah, tetapi menjadi bagian dari rantai pasok global untuk aluminium, kendaraan listrik, energi surya, dan sektor-sektor strategis lainnya.

Kementerian ESDM mencatat setidaknya terdapat tujuh proyek smelter bauksit yang progres pembangunannya masih di bawah 60 persen, bahkan sebagian besar belum menunjukkan kemajuan signifikan akibat kendala investasi dan pembiayaan. Berikut daftar proyek yang masih tertahan:

  1. PT Dinamika Sejahtera Mandiri – Sanggau, Kalimantan Barat
  2. PT Laman Mining – Ketapang, Kalimantan Barat
  3. PT Kalbar Bumi Perkasa – Sanggau, Kalimantan Barat (Izin usaha pertambangan telah dicabut)
  4. PT Parenggean Makmur Sejahtera – Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah
  5. PT Persada Pratama Cemerlang – Sanggau, Kalimantan Barat
  6. PT Quality Sukses Sejahtera – Pontianak, Kalimantan Barat
  7. PT Sumber Bumi Marau – Ketapang, Kalimantan Barat

Mayoritas proyek tersebut belum mampu melanjutkan konstruksi karena kesulitan mendapatkan investor dan belum memiliki kejelasan keekonomian proyek.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement