Rabu 24 Nov 2010 02:25 WIB

Ketika Perusahaan Jepang Memilih Meninggalkan Rumah

Pabrik perakitan Nissan di Washington
Foto: Guardian
Pabrik perakitan Nissan di Washington

REPUBLIKA.CO.ID,  Ingin melihat masa depan bisnis di Jepang? Tengoklah sektor industri mainan , demikian ujar salah satu anggota dewan komisaris salah satu perusahaan terbesar di negara itu. Beberapa dekade lalu, perusahaan Jepang memproduksi mainan plastik murah dalam jumlah besar. Ketika Cina mengambil alih pasar, Jepang banting setir ke Nintendo. Gagasan saat itu yakni perusahan Jepang dapat beralih ke produksi kelas menengah bawah di luar negeri di saat bersamaan mengejar kualitas lebih canggih di dalam.

Perusahaan Jepang menggarap 30 persen pabrik mereka di luar negeri--dua kali lipat dibanding pada awal 1990. Barang-barang buatan Toshiba di luar Jepang tumbuh dari 52% ke 56% hanya di tahun lalu saja. Fuji, Xerox dan Yamaha Motor juga mendongkrak penjualan dari 80&% ke 94%.

Ketika Yen menyentuh nilai tertinggi dalam 15 tahun terakhir, muncul tekanan lebih untuk mengalihkan operasi ke luar negara matahari terbit tersebut. "Kami sebenarnya ingin tetap melakukan produksi di dalam negeri," keluh Satoshi Ozawa, chief financial officer, Toyota, seperti yang dikutip The Economist awal pekan ini. "Namun kami kalah kompetisi dengan cepat," ujarnya mengacu pada perbandingan dengan produsen mobil yang telah membesut 58% dari produk mereka di luar.

Ada bebeberapa faktor jangka panjang--selain penguatan yen baru-baru ini--yang mendorong perusahaan berekspansi ke luar. Produktivitas adalah salah satu alasan. Subsidi di luar menjanjikan marjin keuntungan sekitar sepertiga lebih tinggi dari operasi di dalam negeri, demikian menurut menteri perdagangan. Alasan kedua adalah kedekatan dengan konsumen di negara dengan pertumbuhan ekonomi cepat. Pada 2001, hanya 40% dari perusahaan Jepang yang melakukan produksi di Asia mendekati konsumen lokal. Kini proporsi itu meningkat 62% dan bertumbuh.

Faktor ketiga adalah pajak. Tingkat pajak korporat efektif yang berlaku di Jepang, pada 41%, adalah yang tertinggi di kalangan negara-negara G20, dan hampir dua kali lipat dibanding Korea Selatan. Alasan itu membuat banyak pembesut mobil mengalihkan produksi ke Thailand. Bukan hanya karena alasan pajak rendah, tapi juga karena perjanjian perdagangan bebas (FTA), yang memungkinkan mereka mengekspor barang ke wilayah tersebut dengan bebas tarif.

Suzuki, produsen mobil terbesar di India, dengan penjualan tahunan 1 juta kendaraan, membayar sekitar 12 % dari beberapa suku cadang yang didatangkan dari Jepang. Keberadaan FTA antara Korea Selatan dengan India berarti, para pesaing Suzuki, Hyundai, membayar hanya 1-5% dari tarif. Situasi itu membuat bos perusahaan, Osamu Suzuki, merasa dibikin 'cacat'.

Peningkatan produksi di luar mungkin berkah bagi perusahaan Jepang, namun situasi itu juga menimbulkan kesakitan bagi negara secara keseluruhan. Japan kehilangan produksi domestik senilai 420 juta dolar (Rp378 triliun) sekaligus 1 juta tenga kerja pada 2008 karena pengalihn operasi ke luar, demikian menurut Institut Riset Dai-ichi Life. Ketika para perusahaan itu melakukan peningkatan pembelian material dari pemasok lokal demi menghemat ongkos, skil dan modal pemasok Jepang berhenti bertumbuh.

Jumlah pabrik menyusut di Jepang sangat merugikan. Pasalnya, keuntungan yang banyak diperoleh negara bukan terletak pada desain melainkan proses produksi massal pada skala besar dengan tingkat kerusakan rendah.

Perusahaan tersebut memang tetap memiliki 'perusahaan induk' di Jepang untuk menjaga kemurnian proses produksi dan skil. Namun pabrik-pabrik mereka di luar membutuhkan sedikit 'ibu' ketimbang sebelumnya. Tiga perempat pabrik luar yang dimiliki Jepang kini berada dalam tingkat keteknisan yang sama dengan pabrik domestik pada 2008. Jumlah itu meningkat separuh lebih dibanding 1996. Lagi-lagi, ini kabar baik bagi perusahan Jepang namun menyulitkan Jepang sebagai negara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement