REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-–Bank Indonesia (BI) tak menawarkan sertifikat BI (SBI) bertenor tiga bulan dalam lelang Rabu (10/11). Langkah ini merupakan bagian dari manajemen likuiditas yang kini menjadi fokus BI. "Ini untuk menggiring ekses likuiditas ke tenor jangka panjang," kata Kepala Biro Humas BI Difi A Johansyah, Rabu (10/11).
Yang ditawarkan dalam lelang hari tersebut, hanya SBI bertenor enam dan 9 bulan. Bersamaan dengan lelang SBI, BI juga melepaskan term deposit bertenor satu dan dua bulan. Difi mengatakan lelang SBI bertenor tiga bulan – terpendek saat ini – dan term deposit kurang dari satu bulan akan bersifat situasional. "Situasional tergantung kondisi dan ekpektasi likuiditas yang ada," ujar dia.
Sebelumnya, rapat dewan gubernur (RDG) bulanan BI, Kamis (4/11), menyatakan akan memperkuat manajemen likuiditas dan efektifitas kebijakan moneter. Yaitu melalui bauran kebijakan moneter dan makroprudential. Sasarannya adalah pengelolaan aliran masuk modal asing, stabilisasi nilai tukar rupiah, dan memastikan pengendalian inflasi sesuai sasaran yang ditetapkan di kisaran 5 plus minus 1 persen pada 2011.
Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI, Perry Warjiyo, mengatakan salah satu kebijakan dala kategori manajemen likuiditas tersebut adalah kebijakan menaikkan giro wajib minimum (GWM) primer. Yaitu dari 5 persen menjadi 8 persen, berlaku efektif 1 November 2010. "Di kantong saya banyak (rencana baru manajemen likuiditas), cuma belum bisa saya katakan," kata dia, Jumat (5/11).
Perry mengatakan paket kebijakan yang diluncurkan BI pada 16 Juni lalu juga belum seluruhnya diimplementasikan. "Term deposit belum semuanya kami terapkan," ujar dia memberikan contoh.
Sementara untuk instrumen SBI 12 bulan, Perry mengatakan BI masih perlu berdiskusi dengan Kementerian Keuangan. "Karena permasalahannya berpengaruh terhadap T bill (treasury bill atau SUN) market. Masalah itu," kata dia. Persoalan tersebut menurut dia menjadi salah satu agenda utama yang akan dibicarakan BI dengan Kementerian Keuangan.
Terkait aliran modal masuk (capital inflow), Perry mengatakan BI sudah mengkaji beberapa skenario. Termasuk dampak dari quantitative easing terhadap aliran modal masuk, nilai tukar, dan makro. "Sudah kami siapkan, tinggal kami lihat seberapa jauh dampaknya ke aliran modal masuk dan nilai tukar," kat dia.
BI juga terus berkoordinasi dengan Pemerintah. "(Misalnya untuk) memperbesar IPO (penawaran saham perdana, red) di pasar modal, meningkatkan FDI (foreign direct invesment), dan juga bagaimana memitigasi risiko yang bisa meuncul dari kepemilikan asing di SUN," papar Perry.
Alih-alih mempertimbangkan pengenaan pajak untuk aliran modal masuk, Perry mengatakan ada banyak instrumen lain yang bisa dipakai. Misalnya minimal holding periode sebagaimana yang sudah diterapkan untuk SBI. "Sekarang berlaku untuk SBI, bisa juga diterapkan ke SUN. Hal (yang) seperti itu, (dari) kebijakan yang paling mild," ujar dia.
Normalisasi kebijakan yang diterbitkan saat mengantisipasi dampak krisis keuangan Amerika, juga perlu dilakukan. Tetapi Perry menegaskan diberlakukan atau tidaknya minimal holding period untuk SUN adalah kewenangan Kementerian Keuangan. "Yang ingin saya tegaskan, BI siap memberika masukan, what best can we do, untuk managing capital inflow, baik di SBI maupn SUN," kata dia.