REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA--Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) menolak kenaikan pita cukai rokok per awal tahun 2011 karena dampak negatifnya bisa memicu tingginya angka pengangguran nasional. "Walau kami anggap merokok itu hukumnya makruh, kenaikan cukai rokok dapat mematikan rejeki 600.000 orang karyawan rokok di Indonesia," kata Ketua Umum Pengurus Besar NU, Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, saat melakukan kunjungan ke pabrik Sigaret Kretek Tangan (SKT) milik PT HM Sampoerna Tbk di kawasan Rungkut Industri (SIER), Surabaya, Jumat (29/10).
Menurut dia, rencana Pemerintah Pusat menaikkan pita cukai rokok sangat berpengaruh negatif baik penurunan produksi komoditas tersebut maupun pengurangan karyawan. "Memang, kami akui kenaikan pita cukai rokok dapat menambah pendapatan negara tetapi efek negatifnya ditanggung masyarakat kelas menengah bawah," ujarnya.
Untuk itu, ia berencana, menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan mengajak sejumlah menteri berkoordinasi misalnya Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Menteri Koordinator Perekonomian. "Ajakan kami ini bertujuan agar Pemerintah Pusat tidak menaikkan cukai rokok sekaligus meminta mereka prorakyat," katanya.
Ia memproyeksi, kenaikan cukai rokok dapat menurunkan daya beli masyarakat dikarenakan harga jual rokok di pasar naik. Lalu, situasi tersebut berdampak terhadap penurunan produksi rokok sehingga terjadi efisiensi kerja. "Bahkan, bisa jadi memicu pengurangan jam kerja atau pemutusan hubungan kerja (PHK)," katanya.
Selama ini, tambah dia, produksi Sigaret Kretek Tangan selalu berkomitmen kepada konsep padat karya dengan menggunakan tenaga kerja manusia. "Walau bisa diproses dengan mesin mayoritas pabrik tetap memprioritaskan tenaga kerja dan kami harus melindungi mereka," katanya.
Menyikapi kondisi serupa, Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret, Djoko Wahyudi, menyebutkan, dengan kenaikan cukai pada tahun 2006 produksinya sudah turun. "Salah satunya diukur dari pengurangan jam kerja menjadi 7 jam per hari dari sebelumnya 10 jam per hari," katanya.