REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pemerintah bersiap merintis menciptakan skim kredit khusus bagi sektor pertanian. Namun waktu implementasinya belum ditetapkan. Deputi Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Choirul Djamhari, mengatakan setiap sektor hendaknya diberikan skim khusus karena memiliki risiko yang berbeda-beda.
“Kita juga sedang mulai merintis memberikan skim yang lebih khusus pada sektor pertanian, tetapi dalam menentukan sebuah skim kredit kan juga harus memperhatikan beberapa aspek,” kata Choirul, saat ditemui usai pembukaan UKM Food and Packaging Expo di Gedung Smesco UKM, Rabu (27/10).
Ia memaparkan, ada empat aspek yang perlu diperhatikan terkait dengan penentuan skim kredit, yaitu suku bunga, jaminan, tenggang waktu, dan plafon yang diberikan. “Dari empat aspek itu yang sensitif adalah tingkat suku bunga, padahal penetapan bunga tidak bisa dengan mudah naik turun,” ujar Choirul. Pasalnya, kata dia, penetapan suku bunga tergantung dari portofolio kegiatan bank, suku bunga BI, bunga pinjaman antarbank, dan inflasi.
Choirul pun memahami sektor pertanian memiliki resiko berbeda dengan sektor lainnya seperti perdagangan atau jasa, karena produksinya yang tergantung dari iklim cuaca. Namun, ungkapnya, untuk penentuan skim khusus maupun pemberian tingkat bunga berbeda dari sektor lainnya masih memerlukan kajian lebih mendalam. Pihaknya pun belum menentukan target waktu tertentu untuk pengubahan skim bagi sektor pertanian.
Kendati demikian, lanjutnya, pemerintah berusaha meningkatkan porsi penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) ke sektor pertanian. Choirul mengatakan pemerintah mengupayakan minimal setidaknya penyaluran KUR ke sektor pertanian dapat mencapai minimal 25 persen.
“Sekarang porsi KUR ke sektor pertanian sudah di atas 30 persen dan ke depannya kita akan menuju 40 persen,” tukas Choirul. Saat ini penyaluran KUR masih didominasi sektor perdagangan dan jasa dengan porsi di kisaran 60 persen. Hingga Oktober realisasi penyaluran KUR tercatat Rp 8,8 triliun.
Sebelumnya pemerintah telah melakukan relaksasi KUR dengan menetapkan pembiayaan KUR mikro tanpa agunan yang sebelumnya maksimal Rp 5 juta diperluas menjadi Rp 20 juta, sementara plafon KUR ritel dari minimal Rp 5 juta menjadi Rp 20 juta. Saat ini untuk KUR mikro bunga yang dikenakan maksimal 22 persen dan KUR ritel 14 persen.
Sementara itu, Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan, Winarno Tohir, mengatakan KUR belum dapat dimanfaatkan maksimal oleh para petani. Ia menjelaskan walau pemerintah menjamin 80 persen pembiayaan KUR dan meningkatkan plafon KUR tanpa agunan, hal tersebut kurang berjalan baik karena bunga KUR masih dinilai cukup tinggi bagi petani. “Petani rata-rata meminjam tidak banyak sekitar Rp 5 juta, tapi yang jadi kendala adalah bunga KUR yang tinggi buat mereka,” kata Winarno.
Untuk mendorong sektor pertanian, ujar Winarno, setidaknya bunga yang dikenakan pada sektor tersebut dapat berbeda dengan sektor perindustrian dan perdagangan. "Bunga yang dikenakan saat ini bisa sampai 16 persen, setidaknya pertanian bunganya bisa diturunkan di bawah itu," cetus Winarno.
Ia pun menambahkan sebenarnya penyaluran pembiayaan melalui kredit ketahanan pangan dan energi (KKPE) yang bunganya sekitar 6-7 persen dapat diakomodasi oleh petani. Namun nyatanya kredit tersebut belum terserap banyak ke sektor pertanian. Pasalnya, ungkap Winarno, walau pemerintah mensubsidi bunga KPPE, penyaluran KPPE masih mensyaratkan adanya agunan.
Padahal tidak semua petani memiliki lahan yang digarapnya. “Jadi setidaknya antara KUR dan KPPE ini bisa dipadukan, dengan pemerintah tetap mensubsidi bunga dan juga menjamin pembiayaan petani. Jadi itu (program pemerintah dan penyerapan kredit petani) baru nyambung,” cetus Winarno.