Kamis 30 Sep 2010 00:48 WIB

Revisi UU Migas Harus Akomodasi Kepentingan Daerah dan Masyarakat

Rep: Cepi Setiadi/ Red: Budi Raharjo
Ilustrasi
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Agenda revisi UU Migas No. 22/2001 yang dibahas pemerintah bersama DPR harus mengakomodasi kepentingan daerah dan masyarakat sekitar. Peneliti Ekstraktif dari Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro), Maryati Abdullah, menyatakan hal ini terutama menyangkut persoalan transparansi dan akuntabilitas dari pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas, baik di sketor hulu maupun hilir.

''Transparansi dan akuntabilitas tata kelola sektor ekstraktif ini seharusnya menyentuh keseluruhan rantai nilai kepenggusahaan migas, sejak sebelum penandatangan kontrak, berjalannya kegiatan eksplorasi dan ekploitasi, maupun saat blok Migas telah berproduksi hingga menghasilkan pendapatan bagi negara atau daerah serta penggunaannya bagi pembangunan,'' kata Maryati dalam acara diskusi ''Mendorong Tata Kelola Industri Ekstraktif yang Baik Melalui Revisi UU migas'' di Jakarta, Rabu (29/9).

Maryati menambahkan, di sektor hulu misalanya, terkait dengan Penetapan Wilayah Kerja (WK) migas yang akan ditawarkan kepada BU/BUT (badan usaha/bentuk usaha tetap) oleh Menteri ESDM yang mengharuskan adanya konsultasi dengan pemerintah daerah (pasal 12 UU 22/2001), seharusnya Pemda yang dimaksud tidak hanya pemerintah provinsi, tetapi juga melibatkan pemerintah kabupaten/kota.

''Ini mengingat perusahaan selama ini lebih banyak membutuhkan koordinasi dengan pemerintah kabupaten atau kota misalnya terkait dengan pembebasan lahan, ijin pembangunan pipa, koordinasi persoalan lingkungan dan sebagainya,'' kata dia.

Sementara itu terkait transparansi pendapatan di sektor hulu, seharusnya UU Migas juga menegaskan tentang adanya informasi minimal yang seharusnya dimiliki pemerintah daerah dan masyarakat sekitar tambang, misalnya terakit dengan angka produksi/lifting terlebih dari segi kerahasiaannya. Informasi ini kata dia termasuk data umum yang tidak bersifat rahasia sebagaimana diatur dalam pasal 22 (a) PP No. 35 Tahun 2004 sebagai turunan dari UU Migas No 22/2001.

Karena, lanjutnya, selama ini pemerintah daerah tidak mendapatkan update atau informasi terkait dengan angka produksi migas pada blok-blok yang berada di wilayah kabupaten atau kota sehingga pemerintah daerah tidak memiliki data yang memadai ketika diundang pemerintah pusat pada saat meeting rekonsiliasi lifting dan dana bagi hasil (DBH) pada forum triwulanan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement