REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perubahan aturan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari tiga tahun menjadi satu tahun dinilai memperlambat kelancaran bisnis tambang. PT PAM Mineral Tbk (NICL) menyebut kebijakan baru itu membuat proses persetujuan dokumen teknis menjadi tantangan utama bagi pelaku industri nikel.
“Meskipun Perseroan tetap mampu menunjukkan kinerja operasional dan finansial yang memuaskan pada kuartal ketiga 2025, namun hal tersebut belum mencapai ekspektasi Perseroan. Dikarenakan RKAB Perseroan yang saat ini masih dalam proses pengajuan, sehingga hal itu menjadi salah satu tantangan yang dihadapi Perseroan tahun ini,” ujar Direktur Utama NICL Ruddy Tjanaka dalam keterangan dikutip Selasa (4/11/2025).
Tidak ada kode iklan yang tersedia.
Ruddy menilai perubahan regulasi RKAB menuntut penyesuaian besar dalam proses administrasi tambang. Setiap tahun, perusahaan kini wajib memperbarui dokumen studi kelayakan (FS) dan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) agar tetap sejalan dengan ketentuan baru.
Kebijakan tersebut dinilai menambah beban birokrasi di tengah upaya pemerintah mempercepat hilirisasi dan investasi sektor minerba. Banyak pelaku usaha kini harus menyesuaikan sistem administrasi agar dokumen teknis bisa segera disetujui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
NICL sendiri tengah menunggu persetujuan RKAB 2025 untuk bisa melanjutkan rencana peningkatan kapasitas produksi tahun depan. “Kami aktif mengikuti agenda sosialisasi pembaruan sistem administrasi di kementerian terkait guna mempercepat proses persetujuan dokumen teknis yang dibutuhkan,” kata Ruddy.
Kendati dihadapkan pada kendala regulasi, NICL tetap mencatat pertumbuhan laba signifikan. Laba bersih kuartal III 2025 melonjak 131,28 persen menjadi Rp401,66 miliar dibanding periode sama tahun sebelumnya, ditopang penjualan nikel yang naik 88,76 persen menjadi 2,40 juta ton.
Namun, Ruddy menilai kinerja itu belum mencerminkan potensi maksimal perseroan. Ia menegaskan perusahaan tetap adaptif di tengah tekanan fluktuasi harga nikel global dan penyesuaian kebijakan pemerintah.
“Sejak akhir tahun 2024, harga acuan nikel domestik mengalami penurunan sebesar 5,20 persen sejalan dengan tren global dan euforia industri baterai kendaraan listrik yang cenderung fluktuatif,” ujarnya. Ia menilai koreksi harga nikel merupakan siklus normal yang sudah diantisipasi perusahaan.
Perseroan memperkirakan harga nikel masih akan berfluktuasi pada kuartal IV 2025 akibat kebijakan tarif perdagangan Amerika Serikat dan kelebihan pasokan global. Namun, situasi geopolitik antara Cina dan Barat justru membuka peluang bagi Indonesia menjadi pemasok logam strategis non-Cina.
Di tengah dinamika itu, NICL menegaskan komitmennya menjaga tata kelola dan standar keberlanjutan (ESG). Perusahaan menargetkan produksi gabungan mencapai 2,6 juta ton ore hingga akhir tahun seiring penguatan kerja sama dengan smelter dan trader di Sulawesi, Pulau Obi, dan Halmahera.
Langkah tersebut menjadi upaya NICL menjaga kinerja di tengah ketidakpastian pasar dan regulasi. Perusahaan berfokus pada efisiensi operasional, pengendalian mutu, serta kepatuhan terhadap aturan baru agar tetap berdaya saing di industri nikel nasional.