REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengungkapkan pengalaman pribadinya saat pertama kali diminta menghentikan ekspor ore nikel (bijih nikel). Ia menuturkan, keputusan penyetopan ekspor tersebut diambil ketika dirinya masih menjabat sebagai Menteri Investasi/Kepala BKPM.
Saat itu, Bahlil mengaku menghadapi tekanan besar dari berbagai pihak, termasuk kalangan pengusaha dan rekan lama di sektor pertambangan. “Saya diminta untuk menyetop itu. Saya dihajar oleh teman-teman saya,” kata Bahlil di Jakarta, Selasa (28/10/2025).
Tidak ada kode iklan yang tersedia.
Ia mengakui, ketika kebijakan tersebut diambil, masih ada sekitar ratusan ribu ton ore nikel milik perusahaannya terdahulu yang belum diekspor. Namun, ia menegaskan keputusan itu diambil semata-mata demi kepentingan nasional, bukan untuk kepentingan pribadi.
Menurut Bahlil, sebelum kebijakan hilirisasi diterapkan, nilai ekspor nikel Indonesia hanya sekitar 3,3 miliar dolar AS pada 2017–2018. Setelah larangan ekspor ore diberlakukan dan industri pengolahan dibangun, nilai ekspor melonjak signifikan.
“Begitu kita membangun hilirisasi, ekspor kita sudah mencapai 34 miliar dolar AS pada 2023–2024,” ujar Menteri ESDM.
Meski demikian, ia menilai kebijakan hilirisasi yang diterapkan saat itu belum berjalan secara adil dan menyeluruh. Banyak kebijakan dijalankan tanpa rancangan jangka panjang yang matang serta belum sepenuhnya melibatkan pelaku daerah dan lembaga nasional dalam rantai nilai industri.
“Hilirisasi ini dalam pandangan saya waktu itu belum adil. Karena tidak disiapkan dengan baik, tiba saat tiba akal,” ujarnya.
Bahlil menjelaskan, di sejumlah negara seperti China, Korea Selatan, dan Jepang, hilirisasi dijalankan melalui desain kebijakan nasional dengan dukungan penuh dari lembaga negara. Sementara di Indonesia, koordinasi kebijakan masih tersebar di banyak instansi.
Kini, pemerintah telah menyiapkan lembaga pembiayaan khusus bernama Danantara untuk mendukung proyek-proyek hilirisasi strategis. Satuan Tugas (Satgas) Hilirisasi yang dipimpinnya telah mengajukan 18 proyek senilai hampir Rp 300 triliun, dengan 75 persen di antaranya berasal dari sektor ESDM.