Jumat 10 Oct 2025 20:35 WIB

Transformasi Digital Dorong Inovasi dan Tekan Fraud di Industri Asuransi

AI dan Big Data memainkan peran penting, percepat proses klaim dan deteksi penipuan

Artificial Intelligence. Penerapan kecerdasan buatan (AI) dan big data memainkan peran penting, terutama dalam proses klaim dan deteksi penipuan.
Foto: dok
Artificial Intelligence. Penerapan kecerdasan buatan (AI) dan big data memainkan peran penting, terutama dalam proses klaim dan deteksi penipuan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Disrupsi digital terus membentuk ulang lanskap industri keuangan dan asuransi di Indonesia. Laporan e-Conomy SEA 2024 yang dirilis Google, Temasek, dan Bain & Company mencatat ekonomi digital Asia Tenggara, termasuk Indonesia, telah mencapai nilai Gross Merchandise Value (GMV) sebesar 263 miliar dolar AS, tumbuh 15 persen secara tahunan. Dari angka tersebut, sektor e-commerce menjadi penyumbang terbesar dengan nilai 65 miliar dolar AS atau setara Rp1.082 triliun.

Percepatan digitalisasi itu turut mendorong sektor keuangan dan asuransi untuk beradaptasi cepat, baik dalam hal teknologi, tata kelola, maupun kepatuhan terhadap regulasi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan transformasi digital menjadi langkah strategis untuk memperkuat industri dan meningkatkan kepercayaan publik.

“OJK menargetkan implementasi penuh POJK 11/2023 pada 2026 untuk sektor asuransi, termasuk asuransi syariah. Harapannya, industri asuransi akan tumbuh lebih sehat dengan tata kelola yang kuat,” ujar Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK, Mirza Adityaswara, dalam forum Ijtima Sanawi 2025 di Jakarta.

Minimalkan penipuan

Transformasi digital kini tak sekadar berfokus pada efisiensi, tetapi juga memperkuat akuntabilitas di tengah rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap industri asuransi. Penerapan kecerdasan buatan (AI) dan big data memainkan peran penting, terutama dalam proses klaim dan deteksi penipuan.

Teknologi AI memungkinkan perusahaan asuransi memproses klaim dalam waktu kurang dari 24 jam, dari yang sebelumnya memakan waktu hingga tujuh hari. Beberapa perusahaan bahkan mencatat tingkat akurasi deteksi penipuan mencapai lebih dari 90 persen dengan proses yang sepenuhnya terdokumentasi secara digital.

Selain itu, analisis big data membantu pengembangan produk berbasis perilaku, seperti usage-based insurance yang menyesuaikan premi dengan gaya hidup pengguna. Pendekatan ini dinilai lebih adil sekaligus menekan potensi fraud, yang menurut data Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mencapai sekitar 10 persen dari total klaim tahunan.

Hingga triwulan IV 2024, industri asuransi umum mencatatkan premi sebesar Rp112,9 triliun, tumbuh 8,7 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, tantangan pada kualitas klaim dan isu fraud tetap menjadi perhatian utama regulator.

Kendati transformasi digital terus berkembang, tingkat penetrasi asuransi di Indonesia masih tergolong rendah. Berdasarkan data OJK, rasio premi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 2,80 persen per September 2024, dan sedikit turun menjadi 2,72 persen pada Februari 2025. Angka ini masih tertinggal dibandingkan Malaysia (4,8 persen) dan Singapura (11,4 persen).

OJK menilai inovasi produk menjadi kunci untuk memperluas jangkauan pasar. Produk-produk micro insurance, asuransi digital, serta asuransi berbasis durasi seperti asuransi perjalanan harian mulai dikembangkan untuk menjangkau konsumen yang lebih luas, termasuk generasi muda pengguna layanan daring.

Transformasi digital di industri keuangan kini menjadi tolok ukur baru kesehatan korporasi. Perusahaan dituntut tidak hanya mengadopsi teknologi mutakhir, tetapi juga menjaga integritas dan akuntabilitas dalam setiap proses bisnisnya.

“Yang bertahan bukan yang paling besar atau paling canggih, melainkan yang paling akuntabel, adaptif, dan dipercaya,” demikian disampaikan dalam laporan e-Conomy SEA 2024.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement