REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi VI DPR RI mengapresiasi langkah pemerintah yang berinisiatif mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Ketua Komisi VI DPR RI Anggia Erma Rini dalam keterangannya mengatakan, langkah tersebut dinilai tepat dengan kebutuhan penyesuaian transformasi Kementerian BUMN menjadi lembaga setingkat kementerian yang sesuai dengan dinamika serta kebutuhan pengelolaan BUMN masa kini. Selain itu, diperlukan penyesuaian beberapa materi muatan dengan pengaturan yang lebih jelas dalam UU BUMN.
“Sejalan dengan aspirasi masyarakat, DPR RI dalam merespons usulan RUU tersebut memberikan perhatian khusus terhadap sejumlah materi krusial yang memerlukan pendalaman lebih lanjut,” kata Anggia saat rapat kerja Komisi VI DPR RI dengan Menteri Sekretaris Negara, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Menteri Hukum terkait perubahan UU BUMN di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (23/9/2025).
Pertama, kata Anggia, keberadaan Kementerian BUMN saat ini berkedudukan sebagai regulator dalam pengelolaan BUMN, sementara sebagian perannya telah dijalankan BPI Danantara. Dengan demikian, peran Kementerian BUMN sebagai regulator dan pemegang saham Seri A Dwiwarna serta hak-hak istimewa perlu ditata ulang menjadi lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang BUMN setingkat kementerian.
“Perkembangan kebutuhan hukum terkait posisi keuangan BUMN sebagai bagian dari keuangan negara, menegaskan pentingnya regulasi yang jelas mengenai pengelolaan serta akuntabilitas keuangan BUMN. Hal ini demi menjaga transparansi dan efisiensi. Dengan demikian, pemeriksaan terhadap BUMN dilakukan oleh BPK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” ujarnya.
Anggia menambahkan, selaras dengan kedudukan keuangan BUMN sebagai bagian dari keuangan negara, ketentuan mengenai modal dan kekayaan BUMN perlu dipertegas. Ia menekankan bahwa keuntungan atau kerugian yang dialami BUMN bukan merupakan keuntungan atau kerugian negara.
Selanjutnya, status pejabat BUMN sebagai penyelenggara negara menuntut agar para pejabat tersebut menjalankan tanggung jawab sesuai prinsip-prinsip tata kelola yang baik.
Terkait larangan rangkap jabatan wakil menteri menjadi direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN, Anggia menyinggung Putusan MK Nomor 128/PUU-XXIII/2025. Putusan itu menyatakan Pasal 23 UU tentang Kementerian Negara bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai menteri dan wakil menteri dilarang merangkap jabatan.
“Oleh karena itu, sesuai dengan amar putusan MK, maka perlu dipertimbangkan pengaturan bahwa wakil menteri dilarang merangkap jabatan menjadi direksi, komisaris, atau dewan pengawas pada BUMN,” katanya.
Anggia menegaskan, dalam pembahasan RUU itu DPR berkomitmen membuka ruang partisipasi publik secara luas. Aspirasi dan masukan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk akademisi dan pelaku usaha, sangat diharapkan guna memberikan kontribusi substantif terhadap penyempurnaan substansi RUU dan penguatan peran BUMN ke depan.
“Komisi VI DPR RI menegaskan komitmennya untuk menjalankan fungsi legislasi secara transparan dan responsif, demi terwujudnya regulasi BUMN yang akuntabel, profesional, dan mendukung pembangunan nasional secara berkelanjutan,” ujar Anggia.
