Jumat 12 Sep 2025 21:10 WIB

Pemulihan Ekonomi Domestik Jadi Kunci Arah Pasar Saham Hingga Akhir 2025

Suku bunga BI, arus dana global, dan IEU CEPA ikut menjadi katalis positif.

Karyawan mengamati layar digital yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin (1/9/2025). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) tercatat pada senin pagi dibuka melemah 210,39 poin atau 2,69 persen ke posisi 7.620,10. Sedangkan pada penutupan IHSG masih berada zona merah ke posisi 7.736,06 atau ditutup merosot 1,21 persen dari level 7.830,49.
Foto: Republika/Prayogi
Karyawan mengamati layar digital yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin (1/9/2025). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) tercatat pada senin pagi dibuka melemah 210,39 poin atau 2,69 persen ke posisi 7.620,10. Sedangkan pada penutupan IHSG masih berada zona merah ke posisi 7.736,06 atau ditutup merosot 1,21 persen dari level 7.830,49.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Samuel Kesuma menilai, pemulihan ekonomi domestik menjadi faktor kunci yang akan menentukan arah pasar saham Indonesia hingga akhir 2025. Meskipun pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 tercatat 5,12 persen, outlook paruh kedua tahun ini masih lemah di kisaran 4,8 persen.

Indikator-indikator seperti penurunan optimisme konsumen, melemahnya penjualan mobil dan ritel, serta lambatnya pertumbuhan kredit menunjukkan aktivitas ekonomi masih tertahan.

Baca Juga

"Momentum pertumbuhan ekonomi domestik yang tertekan menjadi faktor yang membayangi kinerja emiten dan pasar saham. Namun potensi transmisi kebijakan pro-pertumbuhan dari bank sentral dan pemerintah diharapkan semakin berdampak ke sektor riil, menjadi katalis bagi ekonomi dan kinerja emiten," ujar Samuel dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (12/9/2025).

Dari sisi kebijakan, Bank Indonesia (BI) sudah memangkas suku bunga acuan empat kali sepanjang delapan bulan pertama 2025.

Namun, dengan suku bunga riil yang masih tinggi di sekitar 2,8 persen, ruang pelonggaran tambahan tetap terbuka.

Konsensus pasar memperkirakan BI Rate dapat turun hingga 4,0-4,5 persen pada akhir 2026. Menurut Samuel, siklus penurunan suku bunga secara historis mendukung pasar saham.

Faktor global pun memperkuat sentimen positif. Penurunan Fed Funds Rate (FFR) oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS) diperkirakan memicu pelemahan dolar AS dan arus dana asing ke negara berkembang, termasuk Indonesia.

Ia menambahkan, sejumlah katalis lain juga menopang prospek jangka menengah Indonesia, antara lain realisasi investasi yang tumbuh 12 persen (yoy) pada kuartal II-2025, stabilnya credit default swap (CDS) Indonesia, serta keberlanjutan peringkat utang “BBB” dengan outlook stabil dari lembaga pemeringkat internasional.

Kesepakatan dagang Indonesia dan Uni Eropa (IEU CEPA), juga dinilai bisa menjadi kompensasi dari potensi dampak tarif AS terhadap ekspor nasional.

Lebih lanjut, Samuel menyebut lima faktor yang menjaga potensi pasar saham Indonesia tetap menarik bagi investor jangka panjang, yaitu perbaikan arus dana global ke pasar negara berkembang, tren pelemahan dolar AS.

Kemudian prospek pemangkasan suku bunga BI, kebijakan dan stimulus pro-pertumbuhan pemerintah, serta valuasi saham domestik yang relatif atraktif.

“Walaupun IHSG telah berada di level yang relatif cukup tinggi, kami masih melihat emiten-emiten berkualitas di sektor finansial dan konsumer yang masih diperdagangkan di valuasi menarik. Momentum pertumbuhan domestik dan situasi likuiditas perbankan yang membaik akan mendukung kinerja laba emiten ke depan,” ujar Samuel.

MAMI sendiri saat ini fokus pada saham-saham dengan fundamental solid, termasuk sektor finansial, konsumer, telekomunikasi, dan material yang diyakini mampu bertahan di tengah dinamika ekonomi global maupun domestik.

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement