Kamis 11 Sep 2025 21:11 WIB

Peruri Genjot Kolaborasi Tangkal Risiko Digital yang Kian Masif

Peruri ajak akademisi, startup, hingga regulator bahas keamanan digital nasional.

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Friska Yolandha
Direktur Digital Business Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) Farah Fitria Rahmayanti
Foto: Dok Republika
Direktur Digital Business Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) Farah Fitria Rahmayanti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Digital Business Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) Farah Fitria Rahmayanti mengatakan Digital Resilience Summit 2025 menghadirkan Masterclass Series yang berfokus pada integrasi teknologi mutakhir dengan tata kelola keamanan digital. Farah mengatakan acara ini menjadi wadah diskusi lintas sektor mulai dari akademisi, praktisi, pelaku startup, hingga pemerintah. 

"Kalau kita melihat sebenarnya ancaman Artificial Intelligence (AI) dan kuantum itu kan terjadi setiap hari, tapi dengan perubahan teknologi kita harus siap," ujar Farah dalam acara Digital Resilience Summit 2025 di Gedung Peruri, Jakarta, Kamis (11/9/2025).

Baca Juga

Farah menekankan masterclass ini digelar untuk memperkuat pemahaman semua pihak dalam menghadapi risiko digital seperti serangan siber dan deepfake. Farah menyebut jika tidak siap maka apa yang sudah dibangun akan mudah diserang. 

“Dengan ini makanya kita buat masterclass untuk memastikan kita bisa mengintegrasikan cyber security, AI, dan kuantum teknologi agar data privasi tetap terjaga,” ucap Farah.

Farah menyebut fenomena deepfake dan scam digital semakin marak terjadi bahkan menimpa kelompok yang sudah terdidik. Farah menilai literasi digital yang masih rendah membuat masyarakat rentan menjadi korban. 

“Saat ini yang paling sering kan terjadi deepfake, lalu scam digital yang tumbuh sangat cepat,” sambung dia.

Farah juga menyampaikan pentingnya peran regulator dalam menetapkan standar tata kelola dan etika penggunaan teknologi. Farah mengingatkan teknologi selalu punya dua sisi, ancaman sekaligus peluang. 

“Regulator perlu menetapkan standar-standar bagaimana tata kelola dan etika bisa dilaksanakan,” ucap Farah. 

Menurutnya, penggunaan kecerdasan buatan harus bersifat inklusif agar manfaatnya dirasakan semua lapisan masyarakat. Pemerintah disebut sudah memiliki aturan yang terbuka untuk publik. 

"Jadi pemerintah juga sudah bikin peraturan tentang AI dan itu terbuka untuk semua orang. Jadi memastikan inklusifitasnya tidak eksklusif untuk semua hal," lanjut Farah.

Farah menambahkan kolaborasi lintas sektor adalah kunci menghadapi percepatan transformasi digital. Pemerintah, swasta, akademisi, hingga startup harus bersinergi agar langkah ini efektif. 

"Sekarang itu namanya digital, kata kuncinya adalah kolaborasi," ucap Farah.

Dalam sesi Masterclass Series, ucap Farah, peserta dibekali berbagai use case untuk bisa langsung diterapkan di dunia nyata. Ia berharap hasil pembelajaran dapat bermanfaat di lingkungan kerja maupun kehidupan sehari-hari. 

"Dengan masterclass ini kita kasih banyak use case yang bisa dibawa pulang untuk diimplementasikan," lanjut Farah

Farah menegaskan membangun ketahanan digital adalah tugas bersama semua pihak. Dengan begitu teknologi dapat dikelola sebagai peluang, bukan ancaman. 

"Digital resilience itu penting untuk seluruh pihak, dan kita harus bersama-sama membangunnya," kata Farah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement