REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Eramet Indonesia menargetkan pengurangan emisi karbon (CO2) sebesar 40 persen pada 2035. Komitmen ini bagian dari strategi perusahaan asal Prancis tersebut untuk mendorong praktik pertambangan ramah lingkungan di tengah meningkatnya kebutuhan mineral kritis dunia.
CEO Eramet Indonesia, Jerome Baudelet, menyampaikan semua lokasi tambang Eramet diarahkan memenuhi standar terbaik. Fokusnya bukan sekadar mengejar produktivitas, melainkan juga sejalan dengan kampanye energi hijau di Indonesia maupun global.
“Target kami jelas, menurunkan emisi CO2 sebesar 40 persen pada 2035,” kata Jerome dalam kelas jurnalis bertajuk “Memahami Industri Nikel Indonesia—Perspektif Terkini dan Praktik Berkelanjutan” di Jakarta, Jumat (25/8/2025).
Ia menambahkan, untuk menopang komitmen hijau, Eramet membangun laboratorium riset Eramet Ideas di Prancis. Unit ini mempekerjakan 150 peneliti dengan fokus pada pengembangan teknologi dekarbonisasi, efisiensi air, dan daur ulang logam. “Melalui Eramet Ideas, kami bekerja sama dengan universitas, perusahaan lain, dan lembaga riset global untuk menciptakan solusi baru,” ucapnya.
Di Indonesia, Eramet hadir sejak 2006 lewat kepemilikan saham di Weda Bay Nickel (WBN), Halmahera, Maluku Utara. Tambang ini disebut sebagai salah satu terbesar di dunia dengan cadangan cukup untuk sekitar 22 tahun ke depan. Bersama Tsingshan (China) dan Antam, WBN memproduksi nickel pig iron (NPI) untuk baja tahan karat serta nikel matte untuk baterai kendaraan listrik. Cadangan bijih nikel WBN diperkirakan mencapai lebih dari 32 juta ton.
Kapasitas produksi NPI di fasilitas Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) mencapai 300 ribu ton per tahun, seluruhnya diserap industri baja tahan karat. Selain operasi tambang, Eramet juga menjalankan program sosial di Halmahera, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga pengembangan ekonomi lokal. Saat ini, kawasan Weda Bay dihuni sekitar 100 ribu penduduk, meningkat drastis dibanding sebelum tambang beroperasi.
Head of Exploration & Business Development Eramet Indonesia Paul Marchive menekankan eksplorasi adalah kunci dasar industri tambang. “Jika kita tidak tahu di mana sumber daya berada, berapa jumlahnya, dan bagaimana kualitasnya, maka sulit merencanakan pengembangan industri,” ujarnya.
Paul membedakan antara resource (sumber daya geologi) dan reserve (cadangan ekonomis). “Ada 20 juta ton resource, tapi mungkin hanya 8 juta ton yang bisa ditambang secara ekonomis. Inilah pentingnya studi kelayakan,” katanya.
Ia juga menyoroti perbedaan jenis bijih nikel. Saprolit, dengan kadar air rendah, digunakan untuk baja tahan karat. Limonit, dengan kadar air tinggi hingga 40 persen, hanya cocok untuk teknologi HPAL yang menghasilkan nikel untuk baterai. “Kalau smelter HPAL dibangun tanpa data eksplorasi yang jelas, pasokan limonit bisa tidak mencukupi. Itu tidak efisien,” tegas Paul.
Selain aspek teknis, ia menekankan pentingnya rehabilitasi sejak dini. Reklamasi tidak boleh menunggu sampai tambang selesai. “Begitu satu pit ditutup, reklamasi harus segera dilakukan,” ujar Paul.
Menurutnya, praktik tambang di Indonesia perlu memastikan transisi menuju tambang hijau. “Idealnya, ketika tambang terakhir ditutup, semua area sebelumnya sudah direhabilitasi,” kata Paul.
Founder A+ CSR Indonesia, Jalal, membawa perspektif berbeda dengan membedakan keberlanjutan (sustainability) dan ESG. Ia menjelaskan, keberlanjutan berbicara tentang dampak perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan, sementara environmental, social, and governance (ESG) menekankan bagaimana perusahaan mengelola isu eksternal agar kinerja finansial tetap terjaga.
Menurut Jalal, perusahaan Eropa seperti Eramet sudah menerapkan konsep double materiality. Artinya, mereka menimbang sekaligus dampak ke luar dan isu luar yang berpengaruh ke dalam.
Ia mengutip laporan Deloitte dan EY yang menempatkan isu lingkungan, sosial, tata kelola, dan teknologi sebagai tren utama pertambangan 2025. Sementara itu, International Council on Mining and Metals (ICMM) mencatat reputasi global industri tambang masih rendah. “Padahal dunia mustahil selamat tanpa pertambangan. Semua teknologi transisi energi, dari panel surya sampai baterai kendaraan listrik, bergantung pada mineral,” ujarnya.
Jalal menilai standar internasional seperti ICMM Mining Principles dan Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) harus diadopsi serius. Eramet menargetkan operasi di Indonesia tersertifikasi IRMA pada 2026. Mulai tahun yang sama, seluruh perusahaan tambang juga wajib melaporkan kinerja menggunakan standar Global Reporting Initiative (GRI) 2024.
Ia menekankan pentingnya just transition, atau transisi energi yang adil. “Izin dari pemerintah tidak ada artinya kalau masyarakat menolak. Social license to operate jauh lebih penting,” kata Jalal.
Menurut data ICMM 2023, pertambangan dinilai positif karena kontribusinya terhadap lapangan kerja, teknologi transisi energi, dan ekonomi lokal. Namun, citra negatif masih muncul akibat kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. “Kalau dampak negatif dikelola, reputasi industri akan meningkat,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menegaskan mineral kritis seperti nikel, litium, dan kobalt adalah tulang punggung transisi energi bersih. Menurutnya, Indonesia dikaruniai hampir semua elemen mineral kritis. Peran negara ini dalam transisi energi global sangat penting. Namun, ia mengingatkan adanya tantangan berupa biaya operasional yang meningkat, harga komoditas yang fluktuatif, hingga regulasi yang sering berubah.
“Social license to operate menjadi kunci. Tanpa dukungan masyarakat, izin formal tidak ada artinya,” ujarnya.
Indonesia memiliki sekitar 380 izin usaha pertambangan (IUP) nikel. Sebagian menghadapi masalah tata kelola. Meski begitu, banyak inisiatif positif telah dijalankan, seperti Good Mining Practices Award, program PROPER Kementerian Lingkungan Hidup, laporan keberlanjutan perusahaan publik, hingga keterlibatan Indonesia dalam Extractive Industry Transparency Initiative (EITI) sejak 2010