Selasa 26 Aug 2025 17:38 WIB

IBC Angkat Isu Pertumbuhan Inklusif di Indonesia Economic Summit 2026

Selain advokasi, IBC juga membangun kapasitas anggotanya.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Indonesia Business Council (IBC) akan kembali menggelar Indonesia Economic Summit (IES).
Foto: Lintar Satria/Republika
Indonesia Business Council (IBC) akan kembali menggelar Indonesia Economic Summit (IES).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Indonesia Business Council (IBC) akan kembali menggelar Indonesia Economic Summit (IES) untuk mendorong pertumbuhan inklusif dan ketahanan ekonomi nasional. Ketua Dewan Pengawas IBC Arsyad Rasyid menegaskan, peran dunia usaha semakin penting dalam memperkuat daya saing Indonesia di tengah ketidakpastian global.

Arsyad menjelaskan, IBC tidak hanya menjadi wadah komitmen bisnis, tetapi juga berfungsi sebagai business-led policy think tank. “Kami di IBC ingin menghadirkan penelitian yang tajam dari perspektif pelaku usaha, lalu mengadvokasikan rekomendasi kebijakan yang konkret. Tujuannya sederhana, yaitu agar perekonomian Indonesia tumbuh lebih kompetitif dan produktif,” ujarnya dalam Kick Off IES 2026 di Jakarta, Senin (25/8/2025).

Ia menjelaskan, alur kerja IBC dimulai dari forum anggota untuk menjaring aspirasi pengusaha. Aspirasi itu kemudian diterjemahkan tim riset menjadi policy brief dan policy papers, yang menjadi basis advokasi kebijakan. “Advokasi tersebut tidak berhenti di atas kertas. IBC secara rutin bertemu dengan pemerintah dan pemangku kepentingan lain untuk mendorong perbaikan maupun penyempurnaan kebijakan,” kata Arsyad.

Selain advokasi, IBC juga membangun kapasitas anggotanya. Program seperti Indonesia Carbon Market Academy (ICMA) dan IPC Business Talks disiapkan untuk memperkuat kesiapan pasar karbon dan memperluas diskusi reguler sebelum berpuncak pada IES.

Menurut Arsyad, langkah ini sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan inisiatif korporatif dan kemitraan publik-swasta.

“Tujuannya jelas, agar ekonomi Indonesia mampu mencapai pertumbuhan delapan persen dan mewujudkan visi Indonesia Emas 2045,” ucapnya.

Ia menambahkan, ekosistem bisnis yang sehat harus transparan, kompetitif, dan berdampak nyata bagi masyarakat luas.

Arsyad mengingatkan pentingnya ketangguhan ekonomi menghadapi pergeseran geopolitik, disrupsi industri, hingga dinamika perdagangan dunia. “Inilah yang mendorong kami menggelar IES. Forum ini kami rancang untuk memetakan arah pembangunan ekonomi Indonesia ke depan,” ujarnya.

IES 2025 yang digelar Februari lalu mencatat capaian besar dengan 1.500 peserta dari 40 negara, 85 pembicara dalam 17 sesi, serta empat roundtable. “Dari diskusi itu kami menegaskan pentingnya governance yang lebih kuat, peran sektor swasta dalam ketahanan ekonomi, investasi pada talenta dan inovasi digital, serta keterlibatan strategis Indonesia di agenda ekonomi regional dan global,” katanya.

IES 2026 akan berlangsung pada 3-4 Februari di Jakarta dengan tema Coming Together to Boost Resilience, Growth, and Shared Prosperity. Forum ini menghadirkan empat agenda utama, yakni top leadership session, policy dialogue, roundtable tematik bersama negara mitra, serta IBC in Action yang menampilkan inisiatif dunia usaha.

“Pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup. Kita memerlukan ketahanan atau resiliencedan pemerataan kesejahteraan agar pertumbuhan benar-benar dirasakan semua lapisan masyarakat. Itu wujud nyata ekonomi Pancasila,” ujar Arsyad.

Tema diskusi akan berfokus pada pembangunan inklusif, penguatan kawasan ekonomi khusus, investasi berkualitas, peningkatan talenta digital, ekonomi hijau, peran pekerja migran, diversifikasi ekspor, hingga ketahanan rantai pasok.

“Indonesia perlu sektor manufaktur yang lebih berdaya saing. Untuk itu kita butuh modalitas yang kuat, mulai dari talenta hingga keterampilan digital yang harus benar-benar dibangun oleh pelaku industri,” ucapnya.

Arsyad menegaskan, IES bukan sekadar konferensi, melainkan platform pertukaran ide untuk memajukan ekonomi nasional. Tahun depan, IBC menargetkan 150 perwakilan pemerintah, akademisi, pemikir global, dan pelaku bisnis dari dalam maupun luar negeri.

“Kami berharap IES menjadi kesempatan berdiskusi dan bertukar pemikiran. Indonesia tidak bisa berjalan sendiri. Kita butuh kolaborasi dan semangat gotong royong untuk menghadapi tantangan global,” kata Arsyad.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement