REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah menargetkan angka pertumbuhan ekonomi pada 2026 mencapai hingga 5,4 persen. Target tersebut dicanangkan dengan berkaca pada capaian angka pertumbuhan ekonomi yang dinilai membanggakan pada paruh pertama tahun 2025.
“Pertumbuhan ekonomi 2026 ditargetkan mencapai 5,4 persen atau lebih,” kata Presiden RI Prabowo Subianto dalam Pidato Presiden tentang Nota Keuangan dan RAPBN 2026 di Kompleks DPR RI, Jakarta, Jumat (15/8/2025).
Angka tersebut lebih besar dibandingkan dengan target pertumbuhan ekonomi pada APBN 2025 yang sebesar 5,2 persen. Sejalan dengan itu, pemerintah menargetkan inflasi pada 2026 sebesar 2,5 persen, sama dengan target pada tahun ini.
Adapun sasaran pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada 2026 yakni mencapai Rp 16.500 per dolar AS. Angka itu terkoreksi dibandingkan nilai tukar pada APBN 2025 yang sebesar Rp 16.000 per dolar AS.
Kemudian, suku bunga surat utang negara (SUN) pada 2026 disasar sebesar 6,9 persen, lebih kecil dibandingkan pada APBN 2025 sebesar 7,0 persen. Harga minyak mentah ditargetkan senilai 70 dolar AS per barel, turun dibandingkan angka pada tahun 2025 sebesar 82 dolar AS per barel. Sedangkan lifting minyak yakni 610 ribu bph dan lifting gas 984 ribu bsmph.
Lebih lanjut, dalam konferensi pers RAPBN dan Nota Keuangan Tahun Anggaran 2026 di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Jumat sore, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani menyampaikan target pertumbuhan ekonomi pada 2026 merupakan refleksi dari capaian yang baik pada kuartal II 2025 di level di atas 5 persen.
“Pertumbuhan ekonomi kita yang cukup bagus dari kuartal kedua ini 5,12 persen dengan terutama konsumsi, investasi, dan ekspor yang baik. Juga Inflasi tetap terkendali rendah,” kata Sri Mulyani.
Ia menjelaskan, di tengah gejolak global, perekonomian domestik diprediksi tetap tumbuh kuat. Ia menyebut, kinerja ekspor Indonesia membaik, tercermin dari surplus neraca perdagangan naik 44,8 persen pada Januari—Juli 2025 atau semester I 2025, dibandingkan periode yang sama pada 2024.
Sri Mulyani lantas menyinggung tentang dampak dari penerapan tarif Amerika Serikat (AS) terhadap barang-barang impor dari Indonesia. Menurutnya, ada harapan bagi Indonesia untuk tetap menciptakan neraca perdagangan yang sesuai harapan dengan AS dan memberikan kontribusi yang positif bagi Indonesia.
“Tentu kita nanti melihat bagaimana tarif resiprokal dari AS. Namun kalau kita lihat, Indonesia dikenai tarif 19 persen, beberapa negara mendapatkan tarif yang lebih tinggi seperti untuk sementara India 26 persen, Cina 55 persen, Meksiko 30 persen, dan Vietnam 20 persen. Ini tentu memberi harapan bagi kita untuk bisa menavigasi situasi yang memang sangat tidak pasti,” jelasnya. Eva Rianti