Rabu 16 Jul 2025 15:21 WIB

Celios Nilai Tarif 19 Persen dari Trump Cuma Diskon Semu

Ekonom sebut kesepakatan dagang terbaru ciptakan ketimpangan bagi Indonesia.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Gita Amanda
Celios menyebut penurunan tarif impor barang dari Indonesia, dari 32 persen menjadi 19 persen, sebagai diskon semu dari Trump. (ilustrasi)
Foto: Carlos Barria/Reuters
Celios menyebut penurunan tarif impor barang dari Indonesia, dari 32 persen menjadi 19 persen, sebagai diskon semu dari Trump. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai Indonesia pada akhirnya menyerah terhadap kebijakan tarif impor yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Huda menyebut penurunan tarif impor barang dari Indonesia, dari 32 persen menjadi 19 persen, sebagai diskon semu dari Trump.

"Kesepakatan tersebut merupakan kesepakatan yang melahirkan kesenjangan dagang antara Indonesia dengan AS," ujar Huda saat dihubungi Republika di Jakarta, Rabu (16/7/2025).

Baca Juga

Huda menjelaskan, produk Indonesia dikenakan tarif 19 persen, sementara produk AS ke Indonesia tidak dikenakan tarif sama sekali dan juga bebas hambatan nontarif. Padahal, tarif impor barang AS ke Indonesia rata-rata hanya berkisar lima hingga tujuh persen.

"Jika bebas tarif, maka pemerintah tidak mendapatkan penghasilan, ditambah produsen dalam negeri bisa tertekan karena semakin banyak produk impor dari AS," ucap Huda.

Ia juga menyampaikan bahwa penurunan tarif barang dari Vietnam jauh lebih signifikan dibandingkan dengan Indonesia. Vietnam disebut berhasil menurunkan tarif ekspor ke AS dari 46 persen menjadi 20 persen. "Jadi meskipun tarif awal Vietnam lebih tinggi, namun negosiasi mereka lebih efektif," lanjutnya.

Untuk industri yang belum siap bersaing secara global, Huda menilai kebijakan bebas tarif barang dari AS justru akan semakin menekan pangsa pasar industri dalam negeri. Ia menyebut pelaku usaha di sektor tersebut tidak akan mampu bertahan dalam persaingan global, dan pasar domestik akan dibanjiri produk impor.

"Salah satunya adalah industri yang terkait dengan teknologi dan digitalisasi. Produk teknologi dan digital dalam negeri pasti akan tertekan akibat gempuran produk AS yang memang lebih unggul," katanya.

Huda memperkirakan, barang-barang elektronik akan menjadi salah satu komoditas yang volume impornya melonjak. Jika itu terjadi, konsep digitalisasi di Indonesia hanya akan dimaknai sebagai penggunaan barang berteknologi, bukan produksi barang teknologi tinggi secara mandiri.

Ia menegaskan bahwa derasnya arus impor akan berdampak terhadap surplus dagang Indonesia yang semakin menyusut. Padahal, menurutnya, surplus dagang dengan AS merupakan salah satu yang terbesar bagi Indonesia.

"Ekspor kita ke AS akan melambat, sementara impor dari AS semakin deras. Salah satu dampaknya adalah menurunnya cadangan devisa, yang pada akhirnya bisa melemahkan nilai tukar rupiah," ujar Huda.

Ia juga meyakini bahwa produk pertanian, perikanan, dan perkebunan asal AS akan membanjiri pasar domestik, sehingga petani dan nelayan lokal akan terdampak secara negatif. Selain itu, rencana reindustrialisasi Indonesia pun dikhawatirkan akan terganggu.

"Yang diperintahkan untuk melakukan impor adalah badan usaha, termasuk BUMN. Dalam konteks ini, badan usaha yang diperintahkan mengimpor tidak memiliki peluang untuk mendapatkan barang dengan harga lebih murah," jelasnya.

Artinya, menurut Huda, ada potensi kehilangan kesempatan memperoleh barang dengan harga optimal, dan potensi opportunity cost yang harus ditanggung oleh badan usaha. "Jika BUMN yang menanggung, maka bisa saja ada tambahan anggaran dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN). Tambahan ini yang dapat menyebabkan defisit anggaran semakin melebar," kata Huda.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement