REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menekankan pentingnya kehati-hatian pemerintah dalam menyikapi fenomena penggunaan bantuan sosial (bansos) untuk aktivitas judi online (judol). Huda mengingatkan bahwa tidak semua transaksi mencurigakan dalam rekening penerima bansos serta-merta membuktikan keterlibatan mereka dalam praktik perjudian.
"Harus dicek terlebih dahulu apakah memang digunakan untuk bermain judi online, atau digunakan oleh orang lain. Tentu tidak adil ketika digunakan orang lain untuk berjudi online, tapi pemilik rekeningnya yang menanggung beban," ujar Huda saat dihubungi Republika di Jakarta, Kamis (10/7/2025).
Ia mengungkapkan praktik umum dalam dunia judol, yakni penggunaan rekening kosong milik pihak ketiga sebagai penampung transaksi. Hal ini menyulitkan identifikasi pelaku karena tidak semua rekening terhubung langsung dengan aktivitas perjudian.
Menurutnya, banyak pihak — baik bandar maupun pemain — memanfaatkan rekening orang lain untuk menyamarkan aliran dana. Bila ditemukan indikasi penyimpangan bansos untuk judi online, langkah awal yang perlu dilakukan adalah membekukan rekening terkait. "Segera bekukan rekening tersebut agar menjadi efek jera," tegas Huda.
Ia menilai motif utama seseorang berjudi adalah keinginan memperoleh uang secara cepat dan mudah, terlebih ketika kondisi ekonomi sedang tertekan. Dalam situasi kenaikan harga kebutuhan pokok, minimnya kenaikan pendapatan, serta meningkatnya pengangguran, masyarakat kelas menengah ke bawah menjadi lebih rentan.
"Motif mereka adalah mendapatkan dana tambahan dengan cepat. Ketika mereka memperoleh 'modal' dari pemerintah lewat bansos, baik BLT maupun non-BLT, mereka bisa saja tergoda menggunakannya untuk judol," katanya.
Huda menjelaskan, fenomena ini makin kompleks ketika pelaku terjerat utang. Dalam kondisi tersebut, bansos justru dipandang sebagai modal darurat untuk berjudi, meskipun peluang menang sangat kecil. "Pikiran mereka, uang bansos hanya cukup untuk beberapa hari atau bulan. Tapi jika menang judi, bisa mendapat lebih banyak. Mereka tahu risikonya, tapi tetap mencoba karena terdesak," jelasnya.
Ia menekankan bahwa persoalan judi online bukan semata isu moral individu, melainkan masalah struktural. Karena itu, ia menolak wacana legalisasi judi online melalui skema perpajakan.
Sebaliknya, Huda mendorong pemerintah fokus memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan pengupahan yang adil dan penciptaan lapangan kerja yang layak. "Berikan pendapatan yang layak agar mereka tidak tergoda mencari tambahan dari judol," tegasnya.
Selain aspek ekonomi, Huda juga menyoroti pentingnya literasi digital. Menurutnya, media sosial masih menjadi kanal utama penyebaran konten judi online, baik secara terang-terangan maupun terselubung.
"Dulu banyak influencer terang-terangan mengiklankan judi online. Sekarang mereka pakai postingan orang lain atau bahkan AI. Perlu kerja sama dengan platform digital agar konten semacam ini bisa otomatis ter-takedown," kata Huda.