Jumat 04 Jul 2025 14:40 WIB

Kenaikan Tarif Ojol Dinilai tak Berdampak Signifikan pada Pendapatan Pengemudi, Ini Penyebabnya

Pada 2023, IDEAS melakukan survei terhadap 225 pengemudi ojol.

Rep: Eva Rianti/ Red: Ahmad Fikri Noor
Pengemudi ojek online (ojol) melakukan konvoi dari arah Jalan Jenderal Sudirman menuju titik aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (20/5/2025).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pengemudi ojek online (ojol) melakukan konvoi dari arah Jalan Jenderal Sudirman menuju titik aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (20/5/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) mengkritisi rencana pemerintah menaikkan tarif ojek daring (ojol) sekitar 8—15 persen. Menurut kajian IDEAS, kebijakan tersebut tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan pendapatan pengemudi.

“Permasalahan dalam ekosistem transportasi digital atau ride-hailing sangat kompleks,” kata Peneliti IDEAS, Muhammad Anwar, dalam keterangannya, Jumat (4/7/2025).

Baca Juga

Anwar menjelaskan, pada 2023 IDEAS melakukan survei terhadap 225 pengemudi ojol di 10 titik simpul transportasi di wilayah Jabodetabek. Hasilnya menunjukkan beragam persoalan dalam ekosistem ini, mulai dari pendapatan yang belum layak, lingkungan kerja yang belum aman, perjanjian kerja yang tidak seimbang, hingga keterwakilan pengemudi yang kurang memadai.

“Dua temuan menarik kami adalah sebanyak 68,9 persen pengemudi mengaku harus bekerja 9–16 jam per hari, dan 79,6 persen bekerja enam hingga tujuh hari per pekan tanpa hari libur. Ini jauh dari standar layak kerja menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO),” ujarnya.

Menurut Anwar, kenaikan tarif memang berpotensi menambah penghasilan pengemudi. Namun, tambahan tersebut dianggap tidak cukup berarti dibanding kondisi sosial ekonomi harian yang mereka hadapi.

“Kebijakan ini hanya menyentuh persoalan pendapatan layak, itu pun belum memadai secara hitungan riil,” ungkapnya.

IDEAS menyimulasikan kondisi tersebut: dengan rata-rata 10 perjalanan per hari sejauh lima kilometer per perjalanan, pengemudi menempuh sekitar 50 km setiap hari. Dengan tarif lama Rp 2.500 per km, pendapatan kotor harian sebesar Rp 125.000. Setelah dipotong 20 persen oleh aplikator, penghasilan bersih hanya sekitar Rp 100.000.

Jika tarif dinaikkan 8—15 persen, tambahan bersih yang diterima pengemudi hanya Rp 8.000—Rp 15.000 per hari. Jumlah itu dinilai tidak cukup menutupi kenaikan biaya hidup di perkotaan.

“Dalam kondisi ekonomi saat ini, tambahan sebesar itu sangat kecil. Sementara kebutuhan pokok dan biaya operasional terus meningkat,” katanya.

Sementara bagi pihak aplikator, kenaikan tarif justru berpotensi menambah pendapatan mereka. Misalnya, dari pendapatan kotor Rp 135.000 (tarif naik 8 persen), aplikator otomatis mendapat Rp 27.000 (potongan 20 persen), lebih besar dari sebelumnya Rp 25.000.

Anwar menekankan, kebijakan ini tidak menyentuh akar masalah, yaitu relasi kuasa yang timpang antara aplikator dan pengemudi.

“Secara formal pengemudi disebut ‘mitra’, tetapi dalam praktiknya mereka tidak punya posisi tawar dalam menentukan skema kerja, insentif, hingga potongan pendapatan,” pungkasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement