REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia terus menjajaki pengembangan pemanfaatan energi nuklir. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung menyebut teknologi untuk pengembangan tersebut ada di China dan Rusia.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pun kini sedang mengunjungi Rusia. Bahlil turut mendampingi Presiden Prabowo Subianto. Ada perjanjian bilateral, termasuk pembicaraan di sektor energi.
"Jadi untuk teknologi yang ditawarkan, katanya ada di China atau dari Rusia. Ini mungkin dari kunjungan Pak Menteri (Bahlil) kemarin, mungkin ada pembahasan. Kita tunggu penjelasan dari Pak Menteri," kata Yuliot, di Kantor Kementerian ESDM, di Jakarta, Jumat (20/6/2025).
Dia menerangkan di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025-2034 ada prospek Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Kapasitasnya 500 megawatt (MW). Pemerintah akan melihat peluang apakah menggunakan teknologi small modular reactor (SMR), atau skala besar (large scale).
"Kalau SMR itu juga kita sudah mempelajari. Jadi di Kanada ini apakah mereka memiliki SMR atau tidak. Kemudian di Korea Selatan itu juga kita jajaki, ternyata mereka memiliki kapasitas large scale," ujar Yuliot.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal mengomentari potensi kerja sama nuklir antara Indonesia dan Rusia. Isu ini bergulir seiring dengan kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke negeri Beruang Merah.
Dia mendukung jika apa yang dicanangkan, terealisasi, dalam konteks pengembangan energi baru terbarukan (EBT). "Tujuannya jelas, untuk energi ya, bukan untuk kepentingan pertahanan keamanan, atau menyerang negara lain. Bukan untuk militer," kata Faisal kepada Republika.co.id.
Ia menerangkan, hal ini dalam rangka menjaga ketahanan energi. Tidak mungkin suatu negara selamanya mengandalkan fosil. Cadangannya terus berkurang.
Suatu saat akan habis. Itulah mengapa perlu beralih ke EBT. Apalagi Indonesia memiliki sumber daya melimpah perihal energi baru terbarukan tersebut.
"Jadi ketika fossil fuel kita makin lama makin turun, pada saat yang sama, kita harus mengembangkan EBT yang sebetulnya banyak jenis. Mulai dari solar PV, surya, angin, air, geothermal, dan termasuk di antaranya nuklir," ujar Faisal.
Ia melihat pemerintah menjalin kolaborasi ini, bagian dari diversifikasi energi. Ada suplai EBT. Sudah saatnya memulai hal seperti itu.
Faisal memahami, jika berbicara tentang nuklir ada kaidah tertentu dalam mengembangkannya. Indonesia harus memastikan semua syarat terpenuhi. Baik itu dari segi keamanan maupun teknisnya.