REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, turut berbicara mengenai ancaman Iran menutup Selat Hormuz. Ini merupakan imbas dari ketegangan antara negara tersebut dengan Israel. Faisal mengatakan, tentu saja hal itu bisa berdampak pada peningkatan harga minyak dunia.
Ia menerangkan, dalam posisi sekarang, harga minyak sudah meningkat. Satu atau dua pekan lalu berada di level 60-an dolar AS per barel, kini berada di level 70-an dolar AS per barel. Itu ketika Selat Hormuz belum ditutup.
"Artinya, penutupan Selat Hormuz ini bisa mendorong harga minyak lebih tinggi ke atas 80-an dolar AS per barel. Kalau terus-terusan berlangsung lama dan terjadi eskalasi perang yang lebih tinggi, tidak menutup kemungkinan harga minyak mencapai 100 dolar AS per barel," kata Faisal kepada Republika.co.id, Ahad (15/6/2025).
Ia menyampaikan, Selat Hormuz di Teluk Persia sangat vital bagi perdagangan minyak global. Di dalamnya terdapat negara-negara penghasil minyak dunia, mulai dari Iran, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, hingga Oman.
Iran sendiri, lanjut Faisal, merupakan salah satu eksportir minyak terbesar. Sekitar 83 persen total ekspor Iran melewati Selat Hormuz ini. Bukan hanya minyak mentah, tetapi juga minyak olahan.
"Jadi, tentu saja penutupan Selat Hormuz akan berdampak pada peningkatan harga minyak," ujar Direktur Eksekutif CORE Indonesia ini.
Faisal menerangkan bagaimana harga minyak sangat dipengaruhi oleh kondisi atau stabilitas geopolitik dan keamanan, khususnya di Timur Tengah. Pasalnya, kawasan tersebut merupakan pusat utama perdagangan minyak dunia.
Dalam beberapa hari terakhir, ketegangan Iran–Israel meningkat. Kedua pihak saling menebar ancaman, termasuk potensi penutupan Selat Hormuz ini.
Selat Hormuz memisahkan Oman dengan Iran. Selat ini menghubungkan bagian barat Teluk Persia, Teluk Oman, dan tenggara Laut Arab. Selat ini menjadi area transit minyak terpenting di dunia.