REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, mengungkapkan Kementerian BUMN menjadi bagian dari tim pendukung dalam negosiasi perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS). Hal tersebut disampaikannya dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR RI di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (20/5/2025).
"Alhamdulillah, kemarin dalam rapat koordinasi pertama dengan Pak Menko Bidang Perekonomian, yang merupakan ketua delegasi untuk negosiasi Indonesia dengan Amerika Serikat, kami dimasukkan sebagai salah satu tim pendukung, yaitu di Working Group 3," ujar Erick.
Ia menjelaskan, keterlibatan Kementerian BUMN dalam Working Group 3 bertujuan memberikan penilaian terkait aspek komersialisasi, peluang, dan pertimbangan strategis untuk menjaga keseimbangan neraca perdagangan dan investasi Indonesia-AS. Meski saat ini Indonesia mencatat surplus perdagangan dengan AS, Erick menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dan membangun kerja sama saling menguntungkan.
"Memang kita surplus cukup besar dengan AS. Tetapi tentu opportunity surplus ini juga harus kita imbangi. Kalau berdagang bisa surplus terus, kenapa mesti defisit? Tapi tentu kita juga harus melihat kerja sama yang saling menguntungkan untuk kedua negara," katanya.
Erick juga menyoroti ketergantungan Indonesia terhadap beberapa sektor industri asal AS, seperti industri pesawat terbang, LPG, dan teknologi digital. Menurutnya, sektor penerbangan masih bergantung pada dua produsen utama, yakni Airbus dan Boeing.
"Untuk kebutuhan LPG kita, hampir 57 persen masih dari Amerika. Dan dalam teknologi, AS masih dominan sebagai pemasok utama, termasuk software seperti Microsoft," lanjutnya.
Dalam pertemuan dengan delegasi AS, kata Erick, terdapat enam poin yang diajukan Indonesia. Salah satunya adalah permintaan perlakuan yang setara bagi investor asing di sektor mineral, serta kesetaraan perlakuan antara BUMN dengan perusahaan asing. Erick menegaskan, Indonesia telah terbuka bekerja sama dengan perusahaan dari berbagai negara, seperti Vale, Ford Motor, dan Volkswagen.
"Ini bukti bahwa kita tidak membeda-bedakan investasi dari negara mana pun. Yang penting adalah kebijakan Presiden untuk memastikan hilirisasi tetap terjadi di dalam negeri," tegasnya.
Erick menambahkan, Indonesia tengah mengupayakan peran dalam rantai pasok global, terutama pada pengembangan ekosistem kendaraan listrik. Ia mengatakan hilirisasi dilakukan untuk menjaga agar produksi baterai tetap dilakukan di dalam negeri.
"Kalau kita lihat perdagangan mobil listrik di Indonesia Motor Show, 70 persen transaksi sudah mobil listrik, 30 persen mobil biasa. Trennya sudah ke sana," ujarnya.
Terkait isu keterbukaan subsidi, Erick menegaskan bahwa subsidi pemerintah bukan ditujukan untuk meningkatkan daya saing korporasi, tetapi sebagai bentuk keberpihakan terhadap masyarakat.
"Subsidi ini bukan untuk meningkatkan nilai kompetitif, melainkan untuk pelayanan publik. Pemerintah berpihak pada dana sosial dan bantuan untuk masyarakat," jelasnya.