REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menilai hengkangnya LG Energy Solution Ltd (LGES) dari proyek baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) merupakan alarm bahaya bagi ikim investasi di Indonesia. Semula konsorsium yang meliputi LG Energy Solution, LG Chem, LX International Corp, dan mitra lainnya, bakal mengerjakan megaproyek senilai 7,7 miliar dolar Amerika Serikat (AS), atau sekitar Rp 130 triliun.
LGES membatalkan komitmen investasi besar dengan angka ratusan triliun rupiah. Menurut Wijayanto, itu adalah pukulan telak bagi Indonesia. Bukan hanya karena Indonesia baru saja kehilangan modal besar dalam berbisnis. Lebih dari itu, seluruh dunia berpotensi membicarakannya.
"Sudah pasti akan menjadi pembicaraan di kalangan investor dunia," kata Ekonom Universitas Paramadina itu.
Calon investor telah membuat keputusan resmi. Saatnya berpikir ke depan. Menurut Wijayanto, momen seperti ini memberi pesan jelas.
Pesannya Indonesia harus responsif untuk memperbaiki diri. Tak ada opsi lain. Fakta di lapangan menunjukkan hal itu. "Jika tidak, maka apa yg dilakukan LG akan diikuti oleh investor yg lain," ujar Wijayanto.
Ia menawarkan sejumlah langkah solutif yang menurutnya ideal untuk diimplementasikan. Sesuatu yang sangat prioritas. Pertama, jangan ada lagi aksi premanisme terhadap industri. Pemerintah tentu memiliki wewenang untuk mengatur hal ini.
Kedua, wujudkan aturan perburuhan yang fair dan pasti. Ketiga, penyederhanaan izin usaha. Keempat, penyederhanaan proses pengadaan lahan. Kelima, menerapkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang fleksibel.
Keenam, pemberantasan penyelundupan. Ketujuh, memperbanyak dan memperluas Perjanjian Perdagangan Bebas (Free Trade Agreement (FTA) dengan negara lain. Kedelapan, menerapkan insentif pajak, misalnya double tax deductible untuk training, R&D dan event internasional di Indonesia, serta insentif bagi pelibatan usaha mikro kecil menengah (UMKM), industri padat modal, dan local content yg tinggi.
Kesembilan, perbaikan efisiensi sektor keuangan. Itu misalnya menurunkan bunga kredit bank. Menurut Wijayanto, saat ini bunga kredit di Indonesia termasuk yang paling tinggi. Lalu mainstreaming pasar modal sebagai alternatif pembiayaan perbankan.
Ia merasa Indonesia belum terlambat untuk melakukan perbaikan. Trump Trade War harus dijadikan pemacu menuju target tersebut. Beberapa hal kunci di atas, perlu segera dijalankan.
Dengan begitu, menurut Wijayanto investasi yang ada, bisa bertahan, tumbuh, hingga memancing yang baru. Sehingga iklimnya bisa mendekati, menyamai, atau bahkan berada di atas negara tetangga seperti Vietnam.