REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Kebijakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menaikkan tarif impor sebesar 32 persen untuk Indonesia, membuat resah para pengusaha furnitur rotan di Kabupaten Cirebon. Sebab, selama ini sebagian besar produk mereka diekspor ke negeri Paman Sam tersebut.
“(Industri furniture rotan di Cirebon) akan terdampak. Ketika tarif itu diberlakukan, maka otomatis harga barang (dari Indonesia) akan naik di Amerika,” ujar seorang pengusaha furniture rotan Cirebon, Muhammad Akbar, saat ditemui di pabriknya di Desa Cangkring, Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon, Kamis (17/4/2025) lalu.
Akbar mengatakan, saat informasi mengenai kenaikan tarif baru pertama dimunculkan oleh Donald Trump, para buyer-nya menunda pengiriman. Selain itu, buyer juga menegosiasi ulang pesanan dan meminta pengurangan harga sekitar 32 persen.
Pengurangan harga yang diminta oleh buyer itu dimaksudkan agar harga jual produk mereka di Amerika tidak mengalami kenaikan. Dengan demikian, penjualan kepada konsumen juga diharapkan tidak menurun.
“Tapi (pengurangan harga 32 persen) itu tidak mungkin kita lakukan karena tidak memenuhi biaya produksi,” katanya.
Akbar mengakui, penerapan kenaikan tarif impor itu mengalami penundaan sampai 90 hari. Karena itu, pihaknya masih bersikap wait and see. Akbar menambahkan, usaha rotan kayu di Cirebon termasuk Kompetensi Inti Industri Daerah (KIID). Karenanya, hal itu sangat penting bagi Kabupaten Cirebon.
“Jadi kami harapkan pemerintah daerah dapat berkomunikasi dengan pemerintah pusat agar melakukan langkah-langkah strategis untuk bernegosiasi dengan Amerika,” ucap Akbar.
Akbar pun berharap agar tarif impor untuk produk dari Indonesia ke Amerika bisa semurah mungkin. Apalagi, produk furnitur rotan Indonesia memiliki pesaing yang berat, yakni Malaysia dan Vietnam. “Kami harapannya presentasenya jangan lebih mahal dari Malaysia dan Vietnam. Bahaya kan kalau misalnya kebijakan tarif mereka (Malaysia dan Vietnam) lebih murah, berarti harga jual (produk) Indonesia lebih mahal dong,” katanya.
Akbar menambahkan, jika tarif impor dari Vietnam lebih rendah, maka hal itu juga akan sangat berpengaruh pada kelangsungan berbagai industri di Indonesia. Ia menilai, hal itu tidak menutup kemungkinan akan membuat perusahaan-perusahaan di Indonesia akan pindah ke Vietnam.
“Kita bukan hanya bicara di furniture rotan, tapi juga ada tekstil, garmen, pabrik alas kaki, elektronik, otomotif, itu bisa berbondong-bondong pindah ke Vietnam jika tarif Vietnam lebih rendah dari Indonesia,” tuturnya.