REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terpantau kembali menyentuh level Rp 16.500-an per dolar AS pada perdagangan Rabu (19/3/2025). Beragam faktor memengaruhi tertekannya Mata Uang Garuda, baik sentimen dari global maupun domestik.
Mengutip Bloomberg, rupiah melemah 103 poin atau 0,63 persen menuju level Rp 16.531 per dolar AS pada penutupan perdagangan Rabu (19/3/2025). Pada perdagangan sebelumnya, rupiah berada di Rp 16.428 per dolar AS.
“The Fed secara luas diperkirakan akan mempertahankan suku bunga tidak berubah pada 4,5 persen, di tengah ketidakpastian yang terus berlanjut atas ekonomi AS di bawah Trump,” ujar Pengamat Mata Uang Ibrahim Assuaibi dalam keterangannya, Rabu (19/3/2025).
Ibrahim mengatakan, para pejabat telah berulang kali menandai ketidakpastian atas prospek ekonomi jangka pendek saat Trump memberlakukan agendanya, dengan ruang lingkup terbatas untuk penurunan suku bunga lebih lanjut dalam waktu dekat. The Fed juga merilis ringkasan terbarunya tentang proyeksi ekonomi yang menawarkan lebih banyak wawasan tentang ekspektasi bank sentral terhadap ekonomi AS.
Tarif perdagangan Trump terutama perubahannya pada tindakan terhadap Kanada dan Meksiko memicu peningkatan ketidakpastian atas prospek ekonomi AS. Trump telah memperingatkan bahwa ia akan mengenakan tarif yang lebih tinggi pada awal April.
“Pasar khawatir bahwa tarif yang lebih tinggi akan mengganggu perdagangan global dan mendorong inflasi AS, sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi lokal,” tuturnya.
Di samping itu, faktor eksternal lainnya yang memengaruhi rupiah adalah mengenai dinamika kondisi geopolitik. Trump berjanji akan melanjutkan serangan negaranya terhadap Houthi di Yaman. Ia mengatakan akan meminta pertanggungjawaban Iran atas serangan yang dilakukan oleh kelompok yang telah mengganggu pengiriman di Laut Merah.
Sementara itu, di Gaza, serangan udara Israel telah menewaskan sedikitnya 200 orang, kata otoritas kesehatan Palestina, yang mengakhiri gencatan senjata selama seminggu dan meningkatkan risiko pasokan minyak terancam dari wilayah yang lebih luas.
Sentimen dalam negeri
Dari dalam negeri, proyeksi pertumbuhan ekonomi yang turun menjadi pemicu tertekannya kondisi Mata Uang Garuda. Seperti proyeksi yang disampaikan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).
“OECD menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini menjadi 4,9 persen. Sebelumnya dalam publikasi OECD Economic Outlook Desember 2024, organisasi ekonomi yang berisi banyak negara maju itu memproyeksikan ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,2 persen pada 2025,” kata Ibrahim.
Kendati demikian, OECD menyatakan pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak akan melambat secara signifikan karena didukung oleh potensi pertumbuhan ekspor akibat efek ekskalasi perang dagang yang terjadi belakangan.
Selain itu, lanjut Ibrahim, OECD memperkirakan tingkat suku bunga acuan Indonesia (BI Rate) akan tetap stabil untuk menjaga inflasi tetap rendah dan menghindari arus keluar modal akibat kebijakan suku bunga tinggi di Amerika Serikat.
“Dalam proyeksi terbarunya, OECD menyatakan inflasi Indonesia akan berada di angka 1,8 persen pada 2025. Angka tersebut lebih rendah 0,3 persen daripada proyeksi OECD pada Desember 2024,” lanjutnya.
Selain itu, sentimen internal lainnya adalah mengenai kebijakan suku bunga Bank Indonesia (BI). Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulan Maret 2025 pada 19 Maret 2025, BI memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan atau BI-Rate tetap berada pada level 5,75 persen. Suku bunga deposit facility tetap berada pada level 5 persen, sedangkan suku bunga lending facility juga diputuskan untuk tetap pada level 6,5 persen.
“(Diprediksi) untuk perdagangan besok (Kamis, 20 Maret 2025), mata uang rupiah fluktuatif, namun ditutup melemah di rentang Rp 16.520-Rp 16.580 per dolar AS,” ujarnya.